Truth Daily Enlightenment show

Truth Daily Enlightenment

Summary: Renungan harian berisi intisari pengajaran aplikatif yang disampaikan oleh Pdt. Dr. Erastus Sabdono, dengan tujuan melengkapi bangunan berpikir kita mengenai Tuhan, kerajaan-Nya, kehendak-Nya dan tuntunan-Nya untuk hidup kita. A daily devotional containing a brief teaching along with the applications, read by Dr. Erastus Sabdono. The messages will equip you and bring you to better understand God, His kingdom, His will, and His guidance in our lives.

Join Now to Subscribe to this Podcast

Podcasts:

 Pemulihan Neshamah | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Firman Tuhan mengatakan bahwa roh manusia adalah pelita TUHAN yang menyelidiki seluruh lubuk hatinya (Ams. 20:27). Kata roh dalam ayat ini tidak menggunakan kata ruakh (חוּר), tetapi neshamah (המָשָׁנְ). Kata neshamah selain memiliki unsur kehidupan, juga menunjukkan adanya unsur kesadaran. Inilah yang dihembuskan Allah pada waktu penciptaan manusia (Kej. 2:7).  Tentu pada waktu Allah menghembuskan neshamah, neshamah manusia masih kosong, karena belum memiliki kualitas. Kualitasnya ada di nuraninya. Dengan neshamah ini, manusia bukan saja mampu bergerak melakukan aktivitas karena dorongan mempertahankan hidup seperti hewan, tetapi juga bertindak dalam tatanan Tuhan. Neshamah inilah yang mestinya berfungsi sebagai pelita Tuhan. Pelita di sini maksudnya adalah sarana untuk memberi tuntunan agar manusia tidak salah melangkah. Jadi pengertian bahwa roh (neshamah) manusia pelita Tuhan adalah bahwa Tuhan memberi tuntunan secara berkesinambungan pada nurani manusia di dalam neshamah-nya agar dapat berperilaku selalu sesuai dengan kehendak-Nya. Kemampuan hidup sesuai dengan kehendak Tuhan atau hidup dalam tatanan-Nya hanya ada pada manusia yang didewasakan atau disempurnakan. Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Binatang dengan segala kecerdasannya tidak memiliki komponen ini. Hanya manusia yang diberi kemampuan untuk mengerti kehendak Penciptanya dengan sempurna. Kejatuhan manusia ke dalam dosa sama dengan tindakan manusia merusak neshamah, sehingga neshamah-nya tidak lagi dapat menjadi pelita Tuhan atau tidak dapat menjadi sarana Tuhan menuntun manusia hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Manusia yang berdosa tidak mampu hidup sesuai dengan kehendak Tuhan (sempurna).  Dalam hal ini manusia kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23). Kehilangan kemuliaan Allah pada dasarnya adalah keadaan di mana nurani manusia tidak mampu memahami kehendak Allah dan melakukannya. Manusia yang jatuh dalam dosa hanya mampu hidup sesuai dengan hukum yang diberikan Tuhan secara tidak sempurna, tetapi tidak mampu melakukan segala sesuatu selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Padahal rancangan Allah sejak semula adalah manusia memiliki keberadaan segambar dan serupa dengan Allah. Dengan keberadaan tersebut manusia dapat bertindak seperti Allah bertindak; manusia memiliki moralitas Allah. Sesungguhnya manusia dirancang bukan saja memiliki pikiran dan perasaan serta kehendak (tselem) seperti Allah, tetapi juga kualitas (demuth) komponen-komponen tersebut seperti Allah. Manusia dapat menyelenggarakan hidup dengan sempurna sesuai dengan kehendak Allah, dalam penggunaan pikiran, perasaan dan kehendaknya. Fakta yang terjadi, sebenarnya kejatuhan manusia ke dalam dosa bukan disebabkan oleh satu kali tindakan salah, tetapi sebuah proses panjang di mana Adam secara terus menerus memilih yang bukan dari Allah, sehingga nurani dalam neshamah-nya menjadi rusak. Hal ini mengakibatkan manusia tidak mampu lagi mengerti kehendak Allah dengan sempurna serta tidak mampu untuk melakukannya. Manusia tidak lagi bisa diperbaiki untuk segambar dengan Allah. Kemudian hari, setelah datang keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus, manusia dapat dikembalikan kepada rancangan semula, yaitu menjadi makhluk yang segambar dengan Allah sendiri.  Jadi, keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus adalah usaha Tuhan mengembalikan manusia kepada rancangan Allah semula; menempatkan neshamah menjadi pelita Tuhan secara ideal sehingga segala sesuatu yang dilakukan manusia sesuai dengan Tuhan secara sempurna. Hal ini sama dengan memperbaiki nuraninya. Bagaimana neshamah manusia menjadi pelita Tuhan? Hal ini tidak dapat terjadi secara otomatis dan mistik. Harus diusahakan dengan terus menerus mengisi pikiran dengan kebenaran Injil. Pada dasarnya kebenaran Injil itu adalah pikiran Tuhan yang dapat membentuk cara berpikir Ilahi (pikiran perasaan Kristus; Mat. 4:4). Kebenaran Injil yang dimengerti dengan pikiran saja hanya menjadi logos.

 Membuktikan Kebenaran | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Orang yang tidak mencuri belum tentu hatinya adalah hati yang tidak suka mencuri. Orang yang tidak berzina belum tentu memiliki hati yang tidak suka berzina. Seorang anak yang melakukan suatu perbuatan yang menunjukkan hormatnya kepada orang tua bukan berarti sungguh-sungguh memiliki hati yang menghormati orang tua. Hal-hal ini bisa terjadi sebab ketika seseorang berbuat baik dan menghindari perbuatan salah, ia memiliki seribu satu motivasi atau alasan. Bisa saja karena faktor-faktor tertentu yang mendesak seseorang berbuat baik. Seperti misalnya seseorang tidak mencuri atau tidak berzina karena takut dihukum. Seorang anak melakukan suatu perbuatan yang mengesankan ia menghormati orang tua, pada dasarnya ia berbuat demikian karena mau memperoleh sesuatu dari orang tuanya. Seharusnya perbuatan baik dilakukan seseorang karena didorong oleh motivasi hati yang benar. Motivasi yang benar tersebut mestinya telah permanen berkuasa atas dirinya, yaitu di dalam hati nuraninya. Dalam hal ini, hati nurani merupakan pusat dari motivasi seseorang melakukan segala sesuatu. Hati nurani adalah sumber penggerak dari segala tindakan yang dilakukan seseorang.  Kalau seseorang berpura-pura baik, padahal motivasi hatinya tidak baik, cepat atau lambat pasti nyata di mata manusia lain bahwa ia jahat. Hal ini tidak dapat disembunyikan terus menerus. Hati nurani yang telah terbangun atau terbentuk sesuai dengan kebenaran Tuhan yang murni dapat menjadi hati nurani seperti Tuhan. Di sini barulah bisa dikatakan bahwa roh (neshamah) manusia adalah pelita Tuhan. Orang seperti ini pasti dapat memancarkan pribadi Tuhan. Hati nurani ini dibangun secara bertahap dalam kurun waktu yang pasti panjang yaitu melalui proses kehidupan setiap hari. Untuk ini seorang anak Allah harus memiliki perjuangan yang konkret untuk membentuk hati nuraninya. Misalnya kalau seseorang mau memiliki hati nurani yang lemah lembut, tidak cukup membaca buku atau mendengar khotbah mengenai kerendahan hati. Memang konsep mengenai kerendahan hati harus ditemukan dari Injil, tetapi setelah itu dalam kehidupan setiap hari, ia harus belajar dari Roh Kudus yang menuntunnya kepada segala kebenaran. Bapa memakai segala peristiwa untuk membawa orang percaya kepada “jiwa rendah hati” seperti yang dikehendaki-Nya, yang juga ada pada diri Tuhan Yesus. Tidak mungkin seseorang dapat mengalami perubahan pendewasaan hati nurani tanpa situasi konkret yang dialaminya. Dalam banyak agama, etika dan standar moral diajarkan secara sistematis dengan berbagai contoh-contoh yang pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh mereka. Inilah yang sama dengan mengajarkan hati nurani dengan sistem. Para pengikut agama diajar memiliki moral seperti tokohnya. Sehingga ukuran moral etika mereka kaku, tidak memiliki fleksibilitas dan dinamisitas, sukar diterapkan di situasi tertentu yang sangat berbeda dengan zaman di mana ajaran moral itu diajarkan atau zaman tokoh mereka hidup. Padahal keadaan zaman di mana sang tokoh hidup sangat berbeda dengan zaman sekarang ini. Harus jujur diakui, sulit mengimplementasikan ajaran yang dilakukan oleh tokoh-tokoh tersebut untuk zaman ini. Bahkan kadang tidak mungkin. Berbeda dengan mereka, di dalam Kekristenan terdapat proses panjang, dari mendengar Firman Tuhan dalam bentuk logos (pengertian secara nalar), kemudian melalui pengalaman hidup menjadi rhema (logos yang diterjemahkan dalam situasi konkret oleh Roh Kudus). Roh Kudus berbicara tiada henti menunjukkan bagaimana seseorang memiliki sikap hati yang benar seperti Tuhan Yesus. Misalnya hal kerendahan hati. Tuhan Yesus tidak mengajarkan sistemnya, tetapi pengertiannya. Itulah sebabnya dalam Kekristenan tidak ada hukum atau peraturan semacam syariat (dilarang ini dilarang itu; jangan begini jangan begitu). Tuhan Yesus mengajarkan kebenaran agar orang percaya yang memahaminya sehingga dapat memiliki kecerdasan roh. Kecerdasan itu ada di dalam hati nuraninya. Kebenaran itulah yang memerdekakan (Yoh. 8:31-32),

 Kebenaran Sebagai Cap | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Kalau diperhatikan, ajaran mereka yang tidak berlandaskan pada Alkitab yang murni yang sedang dipromosikan besar-besaran dewasa ini, sangatlah bertentangan dengan kebenaran Injil. “Nabi-nabi palsu” sebagai pengajar tersebut dipercayai oleh banyak orang sebagai wakil Tuhan. Apalagi kalau mereka bersaksi bahwa mereka memiliki kedekatan khusus dengan Tuhan, maka banyak jemaat yang tidak pernah belajar Injil dengan benar percaya saja sepenuhnya dan mereka telah tertipu. Ciri dari nabi palsu tersebut di antaranya adalah tidak sungguh-sungguh membedah Alkitab untuk dipahami isinya guna pembaharuan pikiran untuk mengerti kehendak Allah. Mereka juga biasanya senang menjadi orang yang dikultuskan. Tentu dengan kesaksian-kesaksian bahwa mereka adalah pribadi-pribadi yang luar biasa di mata Tuhan. Khotbah mereka membicarakan kemakmuran dan berkat jasmani. Pelayanan mereka diarahkan untuk penyelesaikan pemenuhan kebutuhan jasmani. Kalau mereka berbicara mengenai surga, mereka mengesankan bahwa ke surga itu mudah. Seakan-akan mereka bisa membantu orang untuk bisa masuk surga. Padahal mereka memarkir jemaat di dunia, yang akhirnya akan terbuang ke dalam api kekal. Pengajaran seperti itu akan membuat seseorang tidak pernah bisa “terbang”, terangkat memikirkan kehidupan yang akan datang, yaitu langit baru dan bumi yang baru. Tetapi nabi-nabi palsu tersebut berhasil mengesankan bahwa jemaat sudah menjadi umat kesayangan Tuhan yang akan menikmati kelimpahan berkat jasmani selama di dunia dan kalau nanti mereka mati akan pasti dengan mudah masuk surga. Padahal Kekristenan tidak sederhana seperti ini. Mengikut Tuhan Yesus adalah jalan yang sukar, sebab untuk diselamatkan seseorang harus berjuang memasuki jalan yang sesak. Untuk bisa masuk Kerajaan Surga, seseorang harus dicap dengan kebenaran Tuhan. Dalam hal ini jelas sekali betapa sukarnya mengubah cap dalam hati nurani yang sudah terlanjur tergoresi oleh cara hidup nenek moyang dan manusia di sekitarnya. Cap yang digoreskan oleh nenek moyang adalah suatu kehidupan wajar yang dimiliki hampir semua manusia di dunia. Semakin hari cap itu semakin dalam menggores sampai tidak bisa dihapus lagi. Cap inilah yang menunjukkan siapakah majikan yang memilikinya. Kata “kausteriatzo” (καυστηριάζω) selain berarti menghanguskan juga berarti menjadi keras dan tidak berperasaan. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka belum memiliki tanda sebagai orang yang dimiliki oleh Tuhan. Mereka masih memiliki diri sendiri, dengan demikian maka Iblislah yang memiliki diri mereka. Sampai level tertentu mereka tidak akan pernah bisa dimiliki oleh Tuhan karena terlalu dalam guratan yang menggores hati nuraninya. Goresan itu adalah keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup (1Yoh. 2:15-17).  Untuk bisa keluar dari keadaan yang membahayakan ini seseorang harus mendengar kebenaran Firman Tuhan yang murni. Sudah mendengar Firman Tuhan yang murni saja belum tentu seseorang dengan mudah dapat berubah, apalagi kalau tidak mendengar kebenaran Firman Tuhan yang murni.  Kalau seseorang selalu menerima kebenaran Firman Tuhan yang murni dan memberi diri terus berubah, maka hati nuraninya akan dicap oleh Tuhan dengan kebenaran tersebut. Dalam hal ini kebenaran Tuhan seperti besi panas yang men”cap” sebagai tanda bahwa diri seseorang adalah milik Tuhan. Orang yang dicap dengan kebenaran Firman Tuhan, ekspresi kehidupannya adalah ekspresi kehidupan anak Allah yang makin tajam atau kuat. Pandangan-pandangan hidupnya adalah pandangan hidup anak Allah yang berpusat pada Tuhan dan Kerajaan-Nya. Semakin hari pandangan hidup itu semakin melekat pada hati nuraninya. Kalau sudah melekat menjadi lukisan atau cap di hati nuraninya, pasti terekspresi dalam kehidupan secara konkret. Hal ini dikenali sebagai karaker atau watak orang tersebut. Kehidupan anak Allah yang benar seperti ini pasti memancarkan kemuliaan Allah, sehingga ia dapat menjadi saksi Tuhan yang efektif.

 Cap Pada Hati Nurani | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Secara khusus kita akan memperhatikan kata “cap” yang terdapat dalam 1 Timotius 4:2. Kata ini dalam teks aslinya adalah kausteriadzo (καυτηριάζω), yang artinya dihanguskan oleh besi yang dipanasi (Ing. sear with a hot iron). Hal ini mengingatkan kita pada kuda yang dicap dengan besi panas untuk menandainya. Sampai di mana dan kapan pun binatang itu akan dikenal siapa pemiliknya. Selain binatang, budak pada zaman dulu ditato di bagian tubuhnya untuk menandai bahwa ia dimiliki oleh seorang tuan atau majikan. Tato itu juga dapat menggunakan besi panas yang akan membuat tanda yang tidak akan dapat dihapus dalam tubuh budak tersebut. Sampai di mana dan kapan pun budak itu akan dikenal siapa pemiliknya. Hal ini memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Sesungguhnya korban Yesus yang menjadi alat penebusan bagi kita, memberi potensi kita memiliki cap sebagai milik Tuhan. Tetapi cap tersebut tidak dapat terbentuk secara otomatis atau secara cepat. Tetapi melalui proses pendewasaan oleh pimpinan Roh Kudus. Dalam hal ini manusia harus memilih apakah dicap dunia atau dicap Roh Kudus. Dari kalimat dalam 1 Timotius 4:2 (oleh tipu daya pendusta-pendusta yang hati nuraninya memakai cap mereka), ternyata hati nurani memiliki cap. Manusia bisa men“cap” hati nuraninya sendiri. Tentu cap yang digunakan adalah suara dunia. Suara dunia bukanlah suara dari Bapa. Orang-orang seperti itu tidak menyampaikan kebenaran Tuhan, tetapi doktrin-doktrin palsu, doktrin atau pengajaran yang dinyatakan berasal dari Tuhan padahal bukan. Kata “pendusta” dalam teks aslinya adalah pseudologos (ψευδολόγος) artinya Firman yang dipalsukan. Firman yang dipalsukan tersebut membuat seseorang tidak bisa menjadi milik Tuhan.  Jadi yang membuat seseorang menjadi milik Tuhan adalah ketika kebenaran Firman yang memadai memenuhi jiwa seseorang sehingga mengerti segala sesuatu yang sesuai dengan keinginan Tuhan. Sangatlah mudah seseorang mengaku bahwa dirinya milik Tuhan, tetapi apakah benar demikian? Yang membuktikan bahwa dirinya milik Tuhan atau tidak adalah cap apakah yang digoreskan pada pada hati nuraninya. Penandaan ini bukan melalui tindakan sesaat, tetapi melalui perjalanan hidup panjang, yaitu apakah yang sering diterimanya melalui mata dan telinganya. Dalam hal ini nyata sekali bahwa filosofi hidup yang diterimanya adalah yang menjadi cap nurani seseorang. Seperti binatang atau budak yang dicap dengan besi panas sehingga tanda itu tidak akan pernah bisa dihapus, demikian pula dengan orang-orang yang sudah terlalu lama mendengar filosofi dunia, sampai ia tidak pernah bisa mengerti kebenaran. Hati nuraninya sudah memiliki warna tertentu yang tidak bisa diubah lagi. Inilah yang Paulus katakan, “mereka mengumpulkan guru-guru yang menyenangkan telinga mereka, sehingga mereka tidak bisa lagi mendengar kebenaran” (2Tim. 4:3). Dalam 1 Timotius 4:1-16, Paulus menulis kepada anak rohaninya mengenai penyesatan. Dalam teks tersebut muncul “pendusta-pendusta yang hati nuraninya memakai cap mereka”. Mereka adalah pengajar-pengajar yang tidak pernah belajar kebenaran dengan benar sehingga tidak mengenal kebenaran. Hati nurani mereka belum dicap dengan kebenaran. Tidak sedikit di antara mereka adalah mantan pengusaha, mantan artis atau olahragawan, mantan pejabat, mantan dukun dan berbagai bidang profesi yang belum waktunya mengajar, tetapi sudah mengajar dan merumuskan pengajaran. Disertai dengan tanda-tanda ajaib, mereka merasa sudah disertai Tuhan dan berjalan di jalan yang benar. Kemudian mereka merasa berhak merumuskan pengajaran; semestinya pengalaman hidup tidak boleh menjadi dasar pengajaran. Ada yang mengalami mukjizat dalam sekejap, tetapi selama puluhan tahun mereka menyerap filosofi dunia yang bertentangan dengan Firman Tuhan. Sebenarnya mereka belum memiliki cap kebenaran. Dapat dibuktikan setelah mereka menjadi pendeta, maka mereka mengajarkan kemakmuran duniawi yang sebenarnya bertentangan dengan Injil yang murni.

 Makanan Kesukaan | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Orang percaya harus membiasakan menghargai suara hati nuraninya. Kalau hati nurani berbicara atau menegur atas suatu tindakan yang salah, maka seseorang tidak boleh mengabaikan atau membiarkannya. Sikap tidak menghargai suara hati nurani ini akan membungkamkan suara hati nurani sehingga suara hati nurani menjadi lemah, sampai tidak terdengar lagi. Dalam hal ini suara hati nurani dapat dibungkam sehingga menjadi bisu.  Bila hal ini terjadi maka suara lain yang akan mendominasi, yaitu suara yang tidak sesuai dengan suara Tuhan, yang akan bersuara dalam diri orang tersebut. Inilah yang dimaksud Tuhan Yesus dengan pernyataan: Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu (Mat. 6:22-23). Pada waktu kita memasuki saat teduh (doa), kita berdiam diri dan mulai mengoreksi segala perbuatan kita. Pada waktu itu sering nurani kita berbicara dengan sangat jelas. Roh Kudus pun dapat berbicara dengan lebih jelas, di luar bisingnya kehidupan setiap hari. Hal ini harus dibiasakan sehingga kita peka mendengar suara hati nurani kita juga suara Roh Kudus. Pada waktu seseorang berkata “selidikilah aku Tuhan”, itu berarti ia harus mengasah hati nuraninya sendiri dengan kebenaran. Tanpa kebenaran Firman Tuhan yang cukup atau memadai yang dipahami, Tuhan tidak memiliki sarana untuk mengarahkannya kepada kesempurnaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak akan bisa secara permanen mendengar suara Tuhan tanpa mengerti kebenaran.  Bagi orang yang tidak mendewasakan hati nuraninya dengan kebenaran Firman Tuhan dan yang tidak menghargai suara hati nurani yang murni, maka akal dan hati nuraninya menjadi rusak seperti yang dikatakan Titus dalam suratnya dalam Titus 1:15 “Bagi orang suci semuanya suci; tetapi bagi orang najis dan bagi orang tidak beriman suatu pun tidak ada yang suci, karena baik akal maupun suara hati mereka najis.” Di sini terbukti bahwa suara hati nurani bisa rusak. Terkait dengan fungsi hati nurani, Paulus menasihati jemaat dengan tulisannya dalam 2 Korintus 1:12 yang tertulis: “Inilah yang kami megahkan, yaitu bahwa suara hati kami memberi kesaksian kepada kami, bahwa hidup kami di dunia ini, khususnya dalam hubungan kami dengan kamu, dikuasai oleh ketulusan dan kemurnian dari Allah bukan oleh hikmat duniawi, tetapi oleh kekuatan kasih karunia Allah.” Kata “megahkan” dalam teks ini adalah kauchesis (καύχησις) yang artinya selain bangga (Ingg. pride, boasting), juga sesuatu yang dirasakan dalam perasaan (bisa enak atau tidak enak; boasting, in a good or a bad sense). Kata ini juga berarti rejoicing (senang karena sesuatu yang memuaskan). Dalam hal ini hati nurani akan memberikan perasaan bangga, senang dan puas atas suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang anak Allah. Seperti seorang guru yang melihat tindakan anak didiknya melakukan suatu prestasi kemudian memberikan pujian. Hal ini akan mendatangkan perasaan senang dan puas pada murid. Sebaliknya, kalau anak didiknya melakukan suatu tindakan yang dinilai salah, maka hal itu akan mendatangkan perasaan sedih (Ing. a bad sense). Hati nurani memberikan pujian dan upah pada waktu seseorang melakukan sesuatu yang sesuai dengan kebenaran Allah. Upah itu adalah perasaan puas, bahagia dan senang. Perasaan tersebut menjadi makanan jiwa yang membuat jiwa ketagihan bila tidak dipuaskan dengan upah itu. Inilah rezeki kehidupan anak-anak Allah. Dalam hal ini kita mengerti mengapa Tuhan Yesus berkata, “makanan-Ku adalah melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh. 4:34). Kata makanan di sini dalam teks aslinya adalah broma yang menunjuk daging makanan yang halal. Daging di sini menunjuk makanan pokok yang nikmat atau menyenangkan. Kata lain untuk daging adalah sarkos menunjuk kepada keinginan daging atau keinginan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah.  Daging menjadi makanan yang mengikat diri seseoran...

 Mendewasakan Hati Nurani | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Ada orang-orang yang berhenti ketika lampu pengatur jalan menunjukkan warna merah bukan karena lampu petunjuk merah, tetapi karena jalan ramai dan ada polisi yang mengawasi. Tetapi kalau jalan sepi dan tidak ada polisi yang mengawasi, maka ia melanggar lampu lalu lintas tersebut. Hati nurani orang seperti ini adalah hati nurani yang lemah atau tidak dewasa. Hati nuraninya tidak bisa berfungsi sebagai pengawas dalam dirinya. Hal ini sama dengan seorang kasir yang tidak mencuri hanya karena diawasi oleh CCTV atau kamera pengawas yang memonitor pekerjaannya. Kalau tidak ada kamera monitor, maka ia akan mencuri uang yang dipercayakan kepadanya. Orang-orang seperti ini tidak menghargai hati nuraninya sampai hati nuraninya tidak mampu bersuara lagi. Kasus ini adalah contoh yang sangat sederhana dalam kehidupan orang pada umumnya. Dari apa yang dikemukakan Paulus dalam Roma 13:5, Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh karena kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati kita, jelas sekali bahwa Tuhan menghendaki agar kita mendengar suara hati nurani dan menghargainya. Dengan demikian hati nurani menjadi pengawas kehidupan lebih dari kamera monitor atau polisi yang mengawasi. Sejatinya, seseorang tidak perlu dikontrol atau diawasi oleh pihak manapun, tetapi dikontrol oleh dirinya sendiri, yaitu hati nuraninya. Hal ini sama dengan anak-anak yang belum dewasa perlu diawasi oleh orang tua, tetapi ketika anak sudah dewasa, maka ia tidak perlu diawasi oleh orang tua, sebab ia bisa mengawasi dirinya sendiri. Ketika Paulus mengatakan bahwa jemaat harus mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar, hal itu bukan hanya pada waktu Paulus ada di tengah-tengah mereka. Tetapi juga ketika ia tidak hadir, artinya agar dalam diri orang percaya ada hati nurani yang sudah mampu mencegah bila hendak melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak Allah, bukan karena ada pemimpin tetapi dari kesadaran pribadi (Flp. 2:12-13). Kadang-kadang pada waktu ujian mahasiswa dibiarkan tidak diawasi untuk mengajar mereka memiliki kejujuran yang dibangun dari kesadaran sendiri. Hati nurani harus bisa menjadi suara Tuhan yang menunjukkan kesalahan. Ketika seseorang melakukan sesuatu yang tidak berstandar kesucian Allah, maka hati nurani bersuara dengan nyaring. Untuk itu hati nurani harus didewasakan sehingga mampu memiliki standar kebenaran atau kesucian Tuhan. Hati nurani yang didewasakan akan memiliki prinsip-prinsip yang  tinggi yang sesuai dengan kesucian Allah. Hati nurani seharusnya didewasakan dan menjadi pengawas dan pengontrol yang kita hargai, sehingga akan menuntun kita kepada apa yang baik, yang berkenan dan yang sempurna. Orang yang hati nuraninya dewasa dan dihargai, maka ketika ia berbicara atau bersuara, ia bukan hanya menghindarkan diri dari melakukan kesalahan tetapi juga bisa mencapai kesucian yang berstandar Allah sendiri. Masalahnya sekarang adalah bagaimana hati nurani dapat berfungsi sebagai polisi pengawas, kamera monitor dan pengontrol kehidupan seseorang yang baik dan tajam? Jawabnya adalah hati nurani harus didewasakan dan dihargai atau dibiasakan didengar suaranya (what you see is what you get). Kalau seseorang biasa mengabaikan suara hatinya, maka suara hati (hati nurani) menjadi lumpuh, tidak berfungsi sebagai “polisi” dalam kehidupannya. Betapa rusaknya orang seperti ini. Didewasakan maksudnya adalah hati nurani harus bisa membedakan mana yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Pendewasaan ini bisa dilakukan melalui pengajaran kebenaran Firman Tuhan yang memenuhi jiwa seseorang atau pembaharuan pikiran (Rm. 12:2). Juga dibutuhkan keteladanan hidup yang membangun suatu ukuran kebenaran atau pengaruh dari lingkungan yang baik. Seperti misalnya di Singapore atau negara barat; mereka begitu tertib mematuhi peraturan lalu-lintas atau pada waktu harus mengantri. Hal ini akan membawa dampak positif bagi masyarakat dan generasi penerus mereka.

 Nurani Ilahi | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Melalui korban Tuhan Yesus Kristus, kematian hati nurani manusia yang mengakibatkan manusia tidak mampu mencapai kesucian Tuhan, bisa dibangkitkan atau dipulihkan. Inilah sesungguhnya maksud dan tujuan keselamatan diberikan. Bagi orang percaya yang memiliki kuasa supaya menjadi anak Allah, mereka harus bekerja keras memanfaatkan kuasa tersebut guna mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar (Yoh. 1:11-13; Flp. 2:12-13). Dengan kuasa itu (exousia) yang diberikan kepada mereka yang menerima Yesus, mereka dimungkinkan memiliki hati nurani Ilahi, artinya sanggup bertindak seperti Allah bertindak. Jika seseorang berhasil mencapainya, maka orang tersebut barulah pantas disebut sebagai anak-anak Allah. Semua ini bisa terjadi oleh karena anugerah keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus. Apa yang tidak bisa dilakukan manusia telah dikerjakan oleh Tuhan Yesus (Rm. 8:3-4), sehingga Ia menjadi pokok keselamatan kita, artinya Ia memberikan penebusan (membeli kita dari hukum dosa), mengajarkan kebenaran dari apa yang dikerjakan dan yang diajarkan serta penerangan oleh Roh Kudus, memberi teladan dan kemudian memuridkan kita melalui segala peristiwa yang terjadi dalam hidup ini. Semua ini merupakan potensi untuk memiliki nurani seperti Dia, yaitu hati nurani Ilahi. Kalau hati nurani dibentuk atau dibangun dari kebenaran Firman, maka akan menjadi hati nurani Ilahi. Inilah yang menguasai atau mewarnai seluruh neshamah-nya. Dengan demikian barulah seseorang bisa menjadi manusia Allah. Sebaliknya, jika jiwa menyerap filosofi dunia, maka hati nuraninya rusak. Hati nurani yang rusak akan mewarnai seluruh kehidupannya. Hati nurani inilah yang menjadi sosok permanen seseorang atau diri manusia itu. Inilah proses pengkloningan. Masalahnya, apakah seseorang memberi diri dikloning oleh Tuhan menjadi seperti Tuhan atau dikloning oleh dunia dengan segala pengaruhnya sehingga menjadi anak Iblis? Idealnya bagi umat Perjanjian Baru, kita harus memahami apa yang diajarkan dan dilakukan oleh Tuhan Yesus Kristus, kemudian berusaha untuk melakukan dan meneladani hidup-Nya. Orang percaya yang bertumbuh dewasa harus mendidik, membentuk atau membangun hati nuraninya dengan Firman Tuhan sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab. Pembaharuan pikiran merupakan hal mutlak yang harus terjadi dalam kehidupan orang percaya setiap hari. Jika hal ini dilakukan dengan serius, maka hati nuraninya menjadi hati nurani yang Ilahi. Ini sama dengan memiliki pikiran dan perasaan Kristus. Sampai taraf ini hati nurani seseorang menjadi suara Allah. Dalam satu pernyataannya Paulus berkata: Sebab: “Siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan, sehingga ia dapat menasihati Dia?” Tetapi kami memiliki pikiran Kristus (1Kor. 2:16). Pikiran Kristus artinya kemampuan untuk mengerti apa yang Bapa kehendaki untuk dilakukan. Itulah sebabnya kita dikehendaki untuk memiliki pikiran dan perasaan Kristus yang dalam teks aslinya adalah phroneo, yang artinya the mind (Ingg. as the interiorself atau bagian pikiran yang dalam). Kata ini dalam bahasa Inggris juga diterjemahkan attitude, artinya sikap batin atau sikap hati. Hal ini juga menunjuk atau bertalian dengan hati nurani. Sebenarnya phroneo memiliki pengertian yang sejajar dengan suneidesis.  Hati nurani Ilahi inilah yang dimaksud Tuhan Yesus dengan “mata”. Tuhan tegaskan bahwa mata adalah pelita tubuh. Jika mata baik, teranglah seluruh tubuh; jika mata jahat, gelaplah seluruh tubuhnya. Jadi jika terang yang ada pada seseorang gelap, betapa gelapnya kegelapan itu (Mat. 6:22-23). Dari pernyataan Tuhan Yesus ini jelaslah bahwa kalau hati nurani seseorang sudah tidak diisi dengan kebenaran Firman Tuhan, maka gelaplah kehidupan orang tersebut. Gelap di sini artinya tidak mampu mengerti pikiran Tuhan (yang baik, yang berkenan dan yang sempurna). Ini juga berarti tidak melakukan kehendak Bapa. Dalam Injil Matius 6:19-24, orang yang materialistis pasti menjadi buta (Luk. 16:11). Kalimat harta yang sesungguhnya dalam teks aslinya adalah alit...

 Ketaatan Tanpa Pamrih | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Dalam ketaatan yang dilakukan Tuhan Yesus, nampaklah ketaatan yang sangat tinggi mutunya, sebab dilakukan tanpa pamrih. Tanpa pamrih di sini maksudnya melakukan sesuatu tanpa niat tersembunyi maupun terang-terangan untuk memperoleh imbalan balik, baik berupa barang maupun sekadar ucapan terima kasih. Bagi pelayan Tuhan yang mempunyai ketaatan tanpa pamrih, menaati Firman Tuhan dan memenuhi rencana-Nya adalah kesukaan.  Ketaatan tanpa pamrih tersebut telah ditunjukkan oleh Tuhan Yesus Kristus (Flp. 2:5-7). Ketaatan orang percaya adalah ketaatan yang tidak berasal dari sikap oportunis, konformisme dan hipokrisi. Oportunis berarti ketaatan yang berlatar belakang motif keuntungan. Ketaatan yang dilakukan agar hidupnya diberkati Tuhan, dilindungi dari malapetaka. Ketaatan seperti ini adalah ketaatan yang nilainya sangat rendah. Ia tidak menempatkan diri sebagai hamba di hadapan Majikan Agung, tetapi sebagai “pedagang” yang hendak mengeruk keuntungan bagi kesenangan pribadi. Konformisme adalah ketaatan yang tidak teguh, tidak tangguh, atau tidak kuat. Sebab di dalam ketaatan yang konformisme, masih terbuka peluang untuk menyesuaikan diri dengan keadaan. Hal ini menciptakan etika situasi yang sangat kasuistik. Konformisme akan melahirkan orang-orang yang tidak memiliki integritas sebagai anak-anak Allah yang dengan militan melakukan kehendak-Nya. Bukan sebuah ketaatan mutlak. Dalam ketaatan yang bersifat konformisme terdapat unsur permisif.  Kalau merasa tidak sanggup atau kurang mampu, maka mereka masih membuka peluang kompromi dengan ukuran yang lebih rendah. Hipokrisi adalah ketaatan legalistik, artinya menaati hukum Tuhan hanya berdasarkan bunyinya. Melakukan hanya berdasarkan bunyinya. Menaati secara hurufiah dan mengabaikan inti dari hukum atau peraturan tersebut. Sudah barang tentu ketaatan seperti ini adalah ketaatan yang hanya membenahi atau membereskan bagian “luar”nya saja, tetapi tidak memperhatikan apa yang ada di dalam. Ketaatan yang Tuhan kehendaki adalah ketaatan yang dari dalam, artinya seseorang dapat melakukan kehendak Tuhan, bukan karena faktor tekanan dari luar (baik dalam bentuk berkat positif maupun ancaman yang menakutkan), tetapi dari hati yang mengasihi Tuhan. Selanjutnya ketaatan seseorang kepada Tuhan harus didasarkan pada kenyataan bahwa Tuhan memberi hukum-Nya untuk kebaikan. Perintah Tuhan bukan untuk menyakiti, tetapi untuk menyembuhkan jiwa orang yang rusak, yaitu karakter dan watak atau kepribadian yang sudah rusak. Perintah diberikan untuk membentuk manusia yang berkualitas.  Perintah adalah cermin dari kehendak Tuhan yang kudus dan agung (Mzm. 119:98, 176), agar manusia dapat hidup sebagai manusia dengan segala keagungannya. Dengan pengertian ini maka akan menggiring seseorang menaati Tuhan dengan rela, sebab ketaatan tersebut akhirnya juga untuk kebaikan manusia itu sendiri. Ketaatan kepada Tuhan harus didasarkan pada realita Tuhan memberi hukum-Nya untuk kebaikan, menertibkan kehidupan agar hubungan dengan Tuhan menjadi harmonis dan dengan sesama menjadi harmonis pula. Ini adalah persiapan untuk masuk Kerajaan-Nya. Ketaatan bukan hanya untuk meraih berkat hari ini, tetapi meraih berkat kekal di dalam Kerajaan-Nya nanti. Bukan untuk investasi dengan Tuhan hari ini, tetapi persiapan hari esok.  Dalam hal ini, Firman Tuhan berfungsi sebagai pelita kehidupan (Mzm.119:105, 19:9). Dengan pengertian ini maka seseorang akan rela melakukan Firman Tuhan dengan sukacita, seperti Pemazmur menyaksikan bahwa Firman Tuhan adalah kesukaannya (Mzm. 1). Kalau manusia mengakui Allah adalah Penguasanya dan Tuannya yang dijunjung tinggi dengan segala kehormatan, maka ia dengan rela dan sukacita melakukan segala kehendak-Nya.  Seperti seorang punggawa yang berusaha untuk melakukan kehendak tuannya. Baginya, melakukan kehendak tuannya adalah kebahagiaan. Demikian juga sebagai umat Tuhan,  melakukan kehendak Tuhan adalah sebuah kebahagiaan. Dengan demikian melakukan kehendak Tuhan tidak lagi m...

 Kurang Berbekal | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Dewasa ini juga banyak pelayan Firman dan pemimpin gereja yang terlahir dari pendidikan di berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan berbagai profesi (pengusaha, artis, atlit, pejabat pemerintah, pegawai swasta, pengacara, dokter, pendidik, ibu rumah tangga, dukun dan lain sebagainya). Tentu hal ini bukan sesuatu yang salah. Tuhan bisa mengubah mereka dan menjadikan alat dalam tangan Tuhan secara luar biasa. Tetapi masalahnya, mereka belum diperlengkapi dengan pengetahuan Alkitab yang memadai dan di antaranya belum bertumbuh secara benar dalam karakter Kristus. Banyak pengalaman masa lalu mereka yang telah menggores secara mendalam. Kerusakan karakter mereka tidak cukup dalam waktu 4 tahun dibenahi di Sekolah Teologi. Idealnya, seharusnya sejak dari Sekolah Minggu seseorang dipersiapkan menjadi pelayan Tuhan. Kalau hanya 4 tahun dalam studi, belumlah memadai membenahi karakternya. Lagipula tidak banyak Sekolah Teologi yang menyediakan pembinaan karakter yang baik. Pada umumnya mereka lebih menekankan keilmuannya atau akademisinya, yaitu teologi, daripada pembentukan karakternya. Pengalaman pertobatan dan kesaksian yang mereka alami, di dalamnya termasuk pengalaman panggilan untuk melayani, sudah dianggap cukup sebagai bekal. Mereka mengganggap bahwa pengalaman masa lalu sudah cukup memadai sebagai bekal untuk melayani pekerjaan Tuhan, dari mengatur organisasi sampai berkhotbah. Memang urusan organisasi (baik organisasi gereja maupun sekuler atau perusahaan) bisa dilakukan oleh siapa saja, sebab bisa dipelajari di sekolah. Tetapi untuk menyampaikan Firman Tuhan, bukan sesuatu yang mudah. Mestinya juga tidak boleh sembarangan, sebab selain harus memahami isi Alkitab juga harus memiliki kualitas diri sebagai wakil Tuhan Yesus, yaitu kehidupan seperti Yesus. Pengalaman pertobatan bukan berarti seseorang sudah berubah mencapai standard kehidupan yang dikehendaki oleh Allah sebagai pelayan Firman dan pemimpin komunitas rohani. Mereka percaya bahwa Tuhan menyertai dalam segala hal secara ajaib, tanpa memahami bahwa tanggung jawab untuk terus bertumbuh dalam pengenalan akan Allah dan kesempurnaan di dalam Tuhan adalah tanggung jawab individu. Untuk bisa lebih mengenal Allah, sehingga memahami ajaran yang benar dari Injil dan bertumbuh dalam kesempurnaan, tidak bisa secara ajaib. Harus diperjuangkan secara bertahap dengan ketat. Ini adalah tatanan yang tidak bisa diubah. Mukjizat bisa terjadi setiap saat, tetapi mengenal Allah dengan benar dan bertumbuh dalam kesempurnaan dan kesucian harus melewati tahap-tahap ketat dalam perjalanan waktu oleh perjuangan yang sangat serius. Tidak sedikit di antara mereka yang sudah puas diri dengan pengalaman “masa lalu” dengan Tuhan. Seakan-akan kesaksian pengalaman masa lalu mereka yang luar biasa, ajaib dan spektakuler sudah merupakan verifikasi bahwa dirinya adalah orang terpanggil dan akan selalu layak untuk menjadi pemimpin suatu komunitas Kristen, serta berkhotbah. Orang-orang seperti ini kalau tidak waspada, di perjalanan masih bisa dibelenggu oleh percintaan dunia dan kesenangan dihormati menjadi orang penting. Akhirnya lepas dari belenggu Tuhan, sehingga bisa menjadi alat dalam tangan kuasa musuh untuk mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan Injil yang diajarkan oleh Tuhan Yesus. Faktanya hari ini, banyak pengajaran yang tidak sesuai dengan Injil muncul dari mereka. Karena telah memiliki prestasi pelayanan yang hebat dengan segudang kesaksian mukjizat, maka penyimpangan tersebut tidak dikenal oleh jemaat. Pola “berpikir lama” yang belum tuntas melahirkan doktrin-doktrin atau ajaran yang sebenarnya bertentangan dengan kebenaran Injil yang sejati. Mereka tidak tahu kalau sebenarnya mereka tidak tahu. Mereka tidak bermaksud menipu atau menyesatkan, tetapi mereka tidak tahu kalau diri mereka sendiri sebenarnya juga salah. Harus diingat bahwa pengalaman pertobatan, panggilan atau pengalaman spektakuler dengan Tuhan bukanlah bekal yang cukup bagi seseorang untuk dapat ...

 Lulusan Sekolah Teologi | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Seorang pelayan jemaat, dari pendeta sampai aktivis, harus memiliki kualifikasi seorang yang dapat mewakili Tuhan Yesus. Mewakili Tuhan Yesus artinya dapat menunjukkan bagaimana kehidupan Tuhan Yesus pada waktu di bumi dua ribu tahun yang lalu. Ini adalah satu-satunya kunci keberhasilan pelayanan. Harus diingat bahwa pelayanan adalah usaha untuk mengubah pola berpikir jemaat sehingga memiliki pola berpikir yang tidak sama dengan dunia atau tidak menjadi serupa dengan dunia ini (Rm. 12:2). Pola berpikir yang diubah akan menghasilkan gaya hidup yang diubah pula. Sesuai dengan “predikat Kristen” yang disandang, setiap orang yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus harus menjadi seperti Yesus. Dengan demikian menemukan kembali kemuliaan Allah yang hilang atau dikembalikan ke rancangan Allah semula. Dalam hal tersebut, salah satu yang paling merusak pelayanan pekerjaan Tuhan adalah konsep pemikiran atau pandangan bahwa seseorang yang sudah lulus dari Sekolah Teologi sudah diakui atau dianggap sebagai memenuhi kualifikasi sebagai pelayan jemaat. Mereka hadir di tengah-tengah jemaat dengan “buku-buku” yang sudah tertulis dalam pikiran mereka. Dengan hal itu mereka merasa sudah layak menjadi pelayan jemaat. Jika demikian, seharusnya mereka tidak boleh turun ke tengah-tengah jemaat, mereka hanya pantas ada di lingkungan Sekolah Teologi untuk membuat kajian-kajian teologi atau beradu argumentasi di ruang kuliah. Biasanya mereka juga bangga dengan gelar kesarjanaan teologi yang mereka sandang. Karena hal ini, dewasa ini banyak pendeta atau pelayan jemaat yang ramai-ramai mencari gelar tersebut. Hal ini memicu munculnya Sekolah Teologi “abal-abal” (berkualitas akademis sangat rendah), sehingga diluluskan sarjana teologi “asal-asalan” pula. Inilah yang disebut sebagai penipuan akademis. Sarjana-sarjana abal-abal ini mengajar jemaat. Betapa rusaknya bangunan berpikir jemaat. Tidak sedikit rohaniwan (pendeta) yang melayani jemaat hanya berbekal ilmu teologi, tanpa spirit yang baik (gairah rohani). Selain karakternya belum terbentuk memadai semakin seperti Kristus, juga jiwanya yang masih dapat dibahagiakan oleh fasilitas dunia dengan segala hiburannya. Mereka bukanlah orang-orang yang “sudah mati” terhadap dunia, artinya belum meninggalkan segala sesuatu bagi Kerajaan Surga (Luk. 14:33). Tanpa meninggalkan segala sesuatu seseorang tidak layak menjadi murid Tuhan. Mereka hanya menjadi murid Sekolah Teologi tetapi tidak pernah menjadi murid Tuhan Yesus. Tidak sedikit dosen-dosen Sekolah Teologi juga berkeadaan demikian.  Kalau dosennya saja masih duniawi, bagaimana mahasiswanya bisa rohani? Sulit tidak menjadi duniawi pula. Fakta menunjukkan, mereka yang ada di lingkungan Sekolah Teologi kadang seperti katak di bawah tempurung yang hanya melihat dunia dari perspektif akademis, padahal dunia sudah berubah dengan berbagai wajah dengan kecepatan yang sangat tinggi. Dengan berbekal bidang ilmu teologi yang mereka miliki, mereka menganalisa kehidupan yang selalu berubah, apalagi sekarang ini dengan kecepatan tinggi. Padahal tanpa hidup di tengah-tengah jemaat, mereka tidak akan tahu perubahan itu. Mereka tidak mampu membekali mahasiswanya yang akan turun ke lapangan dengan bekal yang memadai. Tidak sedikit dosen-dosen yang mengaktualisasi diri di tengah-tengah mahasiswa (sebab tidak berkesempatan eksis di luar Sekolah Teologi), sehingga membuat ajaran-ajaran yang sensasional (hanya supaya kelihatan pinter), di mana hal ini merusak konstruksi bangunan berpikir mahasiswa. Tanpa disadari dosen-dosen tersebut menulari “arogansi akademis”. Tidak terbayangkan rusaknya jemaat yang dilayani mahasiswa yang ditulari “spirit” arogansi akademis. Ketika para mahasiswa tersebut turun ke lapangan, mereka juga berusaha untuk mengaktualisasikan diri dengan mengemukakan ilmu yang mereka peroleh di Sekolah Teologi. Mereka merasa diri sudah hebat, padahal mereka seperti tong yang berbunyi nyaring. Sungguh,

 Kerajaan Manusia | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Dalam pelayanan pekerjaan Tuhan, betapa sentralnya peran seorang pendeta dalam pelayanan bagi jemaatnya, khususnya di gereja-gereja kharismatik dan Pentakosta. Dalam gereja-gereja yang sistem organisasinya otonomi, pemimpin gereja lokal atau gembala jemaat lokal berpotensi atau memiliki peluang sangat besar mengatur dengan bebas gerejanya tanpa diatur dan dikontrol secara ketat oleh kantor sinode. Seorang pemimpin jemaat lokal atau gembala jemaat lokal dapat mengatur gerejanya sesukanya dan berkhotbah sesuai dengan apa yang dipandangnya benar. Keadaan ini menempatkan seorang pemimpin gereja tersebut seperti “raja” kecil dalam suatu komunitas. Kalau tidak berhati-hati, bisa-bisa gembala jemaat tersebut dapat menggantikan posisi dan peran Gembala Agung, Tuhan Yesus. Dan faktanya fenomena seperti ini telah terjadi. Jika hal ini terjadi, maka jemaat tidak pernah mengenal kebenaran dan tidak dipersiapkan menjadi mempelai Tuhan Yesus. Harus selalu diingat bahwa pemimpin gereja lokal atau gembala jemaat hanyalah pelaksana tugas yang diberikan oleh Gembala Agung. Pemimpin gereja yang sesungguhnya dan Gembala jemaat yang sesungguhnya adalah Tuhan Yesus. Gembala jemaat lokal yang melakukan pelayanan harus dalam kontrol Tuhan Yesus secara penuh dan mutlak dan dalam kesadaran penuh bahwa gereja dan jemaat adalah milik Tuhan. Jika gembala jemaat menggantikan peran dan posisi Gembala Agung, maka gereja menjadi kerajaannya, keluarga pendeta adalah keluarga bangsawan yang dilayani dan memiliki hak-hak istimewa di dalam komunitas tersebut. Biasanya keuangan dikuasai oleh keluarga pendeta, menjadi jaminan hidup pendeta dan keluarganya. Memang keluarga pendeta berhak hidup dari uang persembahan jemaat, tetapi keadaan tersebut memberi potensi terjadi penyalahgunaan uang gereja untuk kepentingan pribadi.  Jadi, hal tersebut merupakan suatu kondisi yang berbahaya untuk pendeta dan keluarganya. Biasanya pendeta-pendeta seperti ini sangat sering berbicara mengenai persembahan dan persepuluhan. Tidak jarang disertai dengan ancaman kutuk dan penghukuman bagi mereka yang tidak memberi persembahan dan persepuluhan. Memang, jemaat harus diajar untuk mengembalikan milik Tuhan, tetapi milik Tuhan bukan milik pendeta atau gereja. Seharusnya penjelasan dan anjuran untuk mengembalikan milik Tuhan, tidak harus disertai dengan ancaman atau janji pelipatgandaan. Biasanya gereja seperti itu memiliki hukum yang wajib dilaksanakan, yaitu penerus penggembalaan atau kepemimpinan dalam gereja adalah pasangan hidup, anak atau yang memiliki hubungan darah dengan pemimpin atau gembala gereja tersebut tanpa melihat panggilan mereka dan potensinya. Dalam hal ini sistem dinasti diterapkan, gereja telah melembaga menjadi kerajaan atau perusahaan keluarga. Biasanya gereja seperti ini akan menyingkirkan orang-orang berpotensi yang dianggap menjadi kompetitor bagi diri gembala jemaat dan keluarganya. Gembala jemaat seperti ini akan merasa terancam dengan kehadiran orang-orang potensial yang merebut hati jemaat. Jadi, tidak heran kalau mereka tidak diberikan peluang atau kesempatan melayani, bahkan bila mungkin dapat disingkirkan secepatnya.   Walaupun sinode memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, tetapi kontrol kepada masing-masing gereja tidaklah mudah. Apalagi mengontrol pengajarannya atau sisi khotbahnya. Tidak sedikit sinode gerejanya sendiri juga tidak memiliki dasar teologi yang cukup, sehingga pejabat-pejabatnya bisa memiliki pengajaran masing-masing. Dari sini sering terjadi munculnya berbagai pengajaran yang tidak sesuai Injil, sehingga tidak membawa jemaat kepada maksud keselamatan diberikan. Sebagai akibatnya banyak jemaat yang tidak siap bertemu dengan Tuhan. Maksud tulisan ini agar jemaat berhati-hati terhadap gereja yang hanya memperdaya orang Kristen, bukan untuk kepentingan Tuhan dan tidak dipersiapkan bertemu dengan Tuhan. Masalah intinya, gereja seperti itu bukanlah “pesawat Tuhan” yang menerbangkan jemaat...

 Mengutamakan Orang Lain | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Seorang pelayan Tuhan pasti mengutamakan orang lain. Yesus Kristus dalam hidup-Nya memiliki filosofi: “sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mat. 20:28). Seorang pemimpin yang melakukan apa yang  Yesus lakukan,  tidak akan  berpikir mengenai  kebutuhan diri sendiri, mereka hanya berpikir bahwa diri mereka senantiasa kurang bagi sesamanya. Memimpin seperti Yesus menuntut sikap rendah hati untuk menerima siapapun yang dibebankan kepada-Nya (Mat. 11:28). Kristus telah memberikan contoh kerendahan hati yang paling sempurna ketika Ia disalib. Kerendahan hati (humility) seperti yang ditampilkan Yesus ini merupakan kerendahan hati yang paling ekstrem yang telah dibuat Yesus semasa hidup-Nya. Semua itu dilakukan demi untuk kepentingan orang lain. Hal inilah yang benar-benar dikatakan dalam naskah Yunani, yaitu mengesampingkan kemuliaan, artinya bahwa Ia memiliki kemuliaan tetapi menanggalkannya (Yoh. 17:4), yaitu: kedudukan sebagai Anak Allah (Yoh. 5:30; Ibr. 5:8), kekayaan yang tak terbatas (2Kor. 8:9), segala hak surgawi sebagai Yang Mahatinggi (Luk. 22:27; Mat. 20:28), dan penggunaan sifat-sifat Ilahi-Nya (Yoh. 5:19; 8:28; Yoh. 14:10). “Pengosongan diri-Nya” ini tidak sekadar berarti secara sukarela menahan diri untuk menggunakan kemampuan dan hak istimewa Ilahi-Nya, tetapi juga dengan sangat rela menerima penderitaan, kesalahpahaman, perlakuan buruk, kebencian, dan kematian keji yang dianggap kutuk di kayu salib. Berita-berita tentang ucapan, tindakan dan perbuatan Yesus yang ditulis pada paska kebangkitan Yesus dengan konteks kehidupan zaman itu, tidak boleh dianggap sekadar sebagai laporan peristiwa, melainkan harus dipahami sebagai kesaksian iman dengan pesan-pesan misiologis yang diperuntukkan bagi sesama. Pemahaman tentang kenyataan sikap rendah hati yang ditampilkan Yesus, secara esensial dapat terus ditelaah melalui penggalian secara mendalam teks Filipi pasal 2 ini. Seorang yang mengutamakan orang lain, pasti akan terus berusaha bagaimana hidupnya menjadi berkat bagi sesama. Ia tidak mempersoalkan apakah perbuatannya tersebut dilihat orang atau tidak. Baginya, kedudukan bukanlah sesuatu yang penting, sebab baginya yang penting adalah kehadirannya berarti bagi semua orang. Pelayan Tuhan seperti ini, melibatkan orang lain dalam pekerjaan Tuhan dan rela mengalah demi kepentingan pekerjaan Tuhan. Ia juga tidak akan bersikap diskriminatif dan nepotisme dalam pelayanan. Jabatan pelayan Tuhan tidak akan dipertahankan hanya karena ambisi untuk menyerahkan kekuasaan gerejani kepada keluarga sendiri. Dalam Filipi 2:7 tertulis: melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Kata penting dalam teks ini untuk menunjukkan esensi pelayanan Yesus Kristus adalah etapeinosen (εταπεινωσεν). Kata etapeinosen adalah kata kerja yang memiliki beberapa pengertian, antara lain to depress, to humiliate (in condition or heart), abase, to bring low, humble (self).  Kata tapeino (ταπεινω) dalam Filipi 2:7 hendak menunjukkan kesediaan-Nya merendahkan diri dengan kerelaan. Hal ini ditegaskan dengan kata heauton (εαυτον), yang juga ada dalam ayat itu yang diterjemahkan “himself”. Perendahan diri yang dilakukan Tuhan Yesus adalah perendahan diri yang dilakukan dengan sengaja, sadar dan penuh kerelaan. Hal ini memberi indikasi yang jelas bahwa kesediaan-Nya merendahkan diri bukanlah sekadar kewajiban, tetapi kebutuhan. Dan semua ini terjadi karena kasih-Nya yang besar kepada manusia. Dari tindakan pengosongan diri ini, ditunjukkan bahwa semua orang berharga di mata-Nya. Perendahan diri Yesus merupakan pintu terbuka, bahwa Ia menyambut setiap orang yang datang kepada-Nya. Hal ini berarti bahwa Yesus menghargai setiap individu dan tidak meremehkan orang lain. Dengan demikian kerendahan hati berarti menyadari dan menekankan pentingnya orang lain.

 Kerendahan Hati | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Dalam Filipi 2:8 tertulis: Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Dalam teks aslinya, terdapat kata heuretheis (ευρεθεις), yang berasal dari kata heurisko, yang bisa berarti find, get, obtain, perceive, see. Melalui ayat ini hendak dikemukakan bahwa dalam keadaan sebagai manusia Ia merendahkan diri. Kata ini menerangkan bahwa Yesus benar-benar menjadi manusia. Dalam teks alsinya tertulis:  heuretheis hos anthropos (ευρεθεις ως ανθρωπος,).  Kata hos (ως) bisa berarti about, after (that), (according) as soon (as), even as (like). Kata ini lebih menegaskan bahwa Yesus Kristus benar-benar menjadi manusia yang memiliki keberadaan yang sama dengan manusia. Hal tersebut adalah sebuah perendahan diri yang sangat hebat, sebagai Allah tetapi merelakan diri sejajar dengan ciptaan-Nya. Cara inilah yang menghantar-Nya ke kemuliaan-Nya. Allah Sang Pencipta menjadi sama dengan hasil ciptaan-Nya; manusia, adalah sesuatu yang tidak dapat dimengerti. Justru di sinilah nampak kerendahan hati Yesus Kristus, yang menjadi pola kehidupan pelayan Tuhan di sepanjang zaman. Ketika Yesus menjadi manusia, Yesus sadar siapa diri-Nya. Ia telah mengosongkan diri-Nya, maka Ia tidak menuntut Bapa memperlakukan-Nya secara khusus. Penulis kitab Ibrani menyatakan bahwa dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan. Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya. (Ibr. 5:7-8).  Dari tulisan tersebut dapat disimpulkan bahwa Yesus mengenal diri-Nya sebagai Allah yang telah mengosongkan diri, karenanya Ia merendahkan diri sedemikian rupa. Dalam pelayanan dapat dilihat sikap rendah hati-Nya yang luar biasa dan hal ini menonjol dalam pelayanan-Nya. Itulah sebabnya hal kerendahan hati menjadi sangat sentral bagi seorang pelayan Tuhan. Melayani seperti Yesus berarti melayani dengan kerendahan hati, yang menuntut dirinya menyadari (mengenali diri) dan menerima bahwa dirinya adalah milik Tuhan sepenuhnya. Orang yang menyadari bahwa dirinya adalah milik Tuhan, maka segala sesuatu yang dilakukan tidak lagi untuk dirinya sendiri, tetapi bagi kemuliaan nama pemiliknya, yaitu Tuhan Yesus. Pengenalan diri yang benar membuat seseorang dapat menempatkan diri di hadapan Tuhan dengan benar pula. Tuhan adalah Sang Khalik, Pencipta langit dan bumi, dan manusia adalah ciptaan. Seorang yang mengenal diri dapat menempatkan diri sebagai ciptaan di hadapan Penciptanya. Dengan demikian seseorang dapat melayani Tuhan dengan sikap hati yang benar. Tentu pelayanan yang dilakukan adalah pelayanan yang bermotif benar. Pengenalan diri yang benar akan membuatnya dapat menerima diri dalam segala keberadaannya. Ini berarti seorang pelayan Tuhan tidak perlu menutup-nutupi kekurangan dan kelemahan yang ada padanya. Aspek lain, seorang pelayan Tuhan harus bisa menerima kritik dan saran orang lain. Selanjutnya ia akan terus menerus mengoreksi diri, agar mengenal diri seperti Allah mengenal dirinya. Dengan mengenal diri dengan benar, maka seseorang bisa mengenal orang lain. Hal ini sangat dibutuhkan dalam pelayanan. Hal ini membuat seseorang tidak menonjolkan diri. Orang yang tidak menonjolkan diri atau tidak mencari hormat bagi dirinya, segala sesuatu yang diusahakan adalah demi kemuliaan Tuhan atau kepentingan Kerajaan Allah. Sikap tidak menonjolkan diri berangkat dari kesadaran bahwa dirinya adalah seorang “hamba”. Kerendahan hati ini adalah sikap hati, sesuatu yang bersifat batiniah. Kesadaran ini akan membuat seseorang dengan tegas menolak segala bentuk pengkultusan atas dirinya. Pengkultusan diri, baik secara terang-terangan maupun terselubung, adalah sikap penolakan terhadap Tuhan sebagai satu-satunya yang layak disembah. Keberhasilan, sukses dan segala perestasi pelayanan hendaknya tidak m...

 Rela Kehilangan Hak Untuk Menikmati Keluarga | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Berbicara mengenai ukuran standard hidup, pengertian normal memang relatif, tetapi kalau ditinjau dari pola hidup masyarakat pada umumnya, kehidupan Yesus nampak tidak normal. Hal ini dimulai ketika Ia berusia 12 tahun. Anak-anak seusia ini biasanya masih hanyut dengan berbagai kesibukan sebagai anak-anak. Tetapi Yesus pada usia tersebut sudah sangat giat belajar Taurat. Karena kemampuan-Nya memahami Taurat, maka Ia bisa bersoal-jawab dengan para alim ulama. Dalam peristiwa di kota Yerusalem, ketika Yesus masih berusia 12 tahun, orang-orang terkagum-kagum terhadap kecerdasan-Nya (Luk. 2:46-47). Peristiwa ini memberi isyarat jelas bahwa sejak kanak-kanak Ia telah memiliki kehidupan yang tidak sama dengan anak-anak lain. Bisa diduga secara logis bahwa hari-hari hidup Anak Allah ini sangat giat belajar Taurat lebih dari anak-anak sebayanya. Hal ini dibuktikan dengan kehandalan-Nya bertanya jawab, sebab memang hal ini diajarkan kepada anak-anak Israel. Sebagai pria yang normal, pada umumnya usia 30 tahun sudah menikah dan hidup berumah tangga. Hari-hari hidupnya dihabiskan bersama keluarga, tetapi tidaklah demikian dengan Yesus. Setelah baptisan yang diterima-Nya di sungai Yordan dari Yohanes Pembaptis, Yesus mulai dengan tugas penyelamatan. Ia memilih murid-murid, dan sejak itu Ia mulai memberitakan Kerajaan Allah. Yesus meninggalkan ayah-Nya, Yusuf dan ibu-Nya, Maria, serta saudara-saudara-Nya. Alkitab menginformasikan bahwa Ia berjalan keliling untuk mengajar (Mat. 4:23-35). Hampir tidak ada catatan dalam Alkitab bahwa Yesus kembali ke kampung halaman berkumpul kembali dengan keluarga-Nya. Petualangan Anak Allah ini berakhir di kayu salib. Di kayu salib Ia hanya bisa menatap ibu-Nya yang tentu memandang-Nya, kemudian Ia menyerahkan tanggung jawabnya dalam memelihara ibu-Nya kepada murid-murid-Nya (Yoh. 19:27). Dalam Alkitab jelas sekali dinyatakan bahwa dalam segala hal Yesus disamakan dengan manusia (Ibr. 2:17). Ini berarti Ia mengenakan tubuh yang proses kimia atau metabolisme tubuh-Nya sama seperti manusia pada umumnya. Ia tidak menggunakan tubuh maya yang kebal terhadap nyeri kalau terluka. Dengan keberadaan-Nya ini maka Tuhan juga bisa menghadapi masalah-masalah fisik. Kalau Yesus dilukai, maka Ia akan merasa nyeri, kesakitan. Ia dapat merasakan lapar, haus dan berbagai fenomena fisik lainnya. Dalam pelayanan-Nya, Tuhan Yesus sering harus menghadapi manusia dalam jumlah yang besar, sampai-sampai Ia menunda makan dan kurang beristirahat. Inilah realitasnya bahwa Ia rela kehilangan hak menikmati kenyamanan fisik. Kalau Yesus berbicara mengenai keberadaan-Nya yang tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya (Luk. 9:58), hal ini menunjukkan bahwa ia bekerja keras sehingga Ia tidak memiliki kesempatan menikmati hidup bersama keluarga. Hidup-Nya adalah perjuangan yang berat menyelesaikan tugas Bapa yang berat. Filosofi hidup-Nya adalah: Makanan-Ku melakukan Kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya (Yoh. 4:34). Jadi salahlah kalau seseorang mengikut Yesus dan turut mengambil bagian dalam pelayanan dengan maksud supaya bisa menikmati kenyamanan hidup. Justru mengikut Yesus harus rela kehilangan kenyamanan, termasuk di dalamnya kenyamanan hidup bersama keluarga. Mengikut Yesus adalah memikul salib. Salib yang sama atau mirip dengan salib-Nya. Sebagai pelayan Tuhan, dalam kondisi tertentu seorang pelayan Tuhan harus rela meninggalkan keluarga demi tugas pelayanan. Ini berarti waktu bersama dengan keluarga menjadi berkurang. Kadang-kadang di tengah-tengah kebersamaan dengan keluarga di rumah, seorang pelayan Tuhan harus memberi konseling melalui telepon, tentu hal ini mengurangi waktu kebersamaan dengan keluarga. Bahkan kadang-kadang seorang pelayan Tuhan harus keluar di tengah malam buta atau pada pagi dini hari untuk melawat jemaat yang dalam persoalan berat. Tentu hal ini sangat mengganggu kehidupan bersama dengan keluarga, tetapi seorang pelayan Tuhan tidak mempunyai pilihan lain.

 Rela Kehilangan Hak Untuk Menikmati Kesenangan | File Type: audio/mpeg | Duration: Unknown

Bagian dari keteladanan yang ditampilkan Yesus dalam kisah penyaliban, juga berbicara bagaimana seorang pelayan Tuhan rela melepaskan kesenangan demi pelayanan terhadap Tuhan.  Paulus pernah berkata kepada anak rohaninya Timotius, “Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah” (1Tim. 6:8). Implikasi ayat ini menyuarakan panggilan terhadap seluruh hamba atau pelayan Tuhan, untuk tidak membiarkan dirinya terbuai dengan berbagai kesenangan pribadi, lebih dari kecintaannya terhadap Tuhan dan pelayanan pekerjaan-Nya. Paulus tidak melarang orang mendapatkan berbagai fasilitas hidup, melainkan ia mengajak atau menganjurkan agar orang tidak menginginkan lebih dari apa yang ia butuhkan.  Ia membuktikan pernyataan-pernyataan dalam suratnya tersebut di dalam hidupnya secara konkret sebagai pelayan Tuhan, sampai ia menghadapi martirnya di Roma. Orang percaya hendaknya merasa puas dengan kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan, dan papan. Jikalau ada kebutuhan keuangan yang khusus, ia bekerja keras dan  berharap kepada Allah untuk menyediakannya. Seorang pelayan Tuhan harus dapat menjadi teladan atau contoh bagi kehidupan umat Tuhan yang dilayani. Ini berarti kehidupan seorang pelayan Tuhan terbelenggu oleh tugasnya. Belenggu itu adalah kebenaran Firman Tuhan yang harus dikenakan, sehingga ia menjadi pola dengan mana orang membangun dirinya. Misalnya, terdapat Firman yang mengatakan: “Asal ada makanan dan pakaian cukup”, maka seorang pelayan Tuhan harus terlebih dahulu dapat melakukan kebenaran ini sebelum ia mengajarkannya kepada orang lain. Sebagai seorang pelayan Tuhan, kita harus memiliki toleransi yang tinggi. Kita bisa tidur di tempat agak panas atau agak dingin; tidak memanjakan fisiknya. Bila seseorang memanjakan fisiknya, maka ia tidak dapat menjadi pelayan Tuhan yang lentur dan fleksibel beradaptasi dengan dunia sekitar. Dalam situasi tertentu ia harus berani tidak mengambil cuti atau waktu istirahat beberapa saat untuk sebuah “leisure time”. Harus diingat bahwa Yesus tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala. Ini berarti bahwa hal untuk menikmati kesenangan harus berani ditinggalkan. Dengan demikian seorang pelayan Tuhan yang sejati tidak harus memiliki standar hidup seperti orang lain pada umumnya. Masyarakat post-modern adalah masyarakat yang makin konsumeris dan hedonis. Hal ini juga dipicu oleh teknologi periklanan yang sangat memikat. Masyarakat menjadi masyarakat yang selalu ingin memiliki apa yang ditawarkan oleh para produsen untuk berbagai kesenangan. Inilah yang dimaksudkan Alkitab sebagai keinginan mata (1Yoh. 2:16). Pola hidup seperti ini tentu juga memengaruhi pola berpikir banyak pelayan Tuhan. Hal ini terbukti dengan kenyataan adanya pelayan-pelayan Tuhan yang memenuhi dirinya dengan berbagai fasilitas hidup yang tidak berguna untuk pelayanannya.  Fasilitas yang dimiliki pada dasarnya hanya untuk kenyamanan hidup. Dalam hal ini, bukan saja kemewahan yang membahayakan bagi seorang pelayan Tuhan, tetapi hidup dalam kewajaran juga merupakan ancaman yang sangat berbahaya. Seharusnya seorang pelayan Tuhan bukan saja rela tidak hidup bermewah, tetapi juga bersedia hidup dalam keadaan tidak standard seperti manusia lain yang sedang menikmati kehidupan ini. Seorang pelayan Tuhan yang terlalu lama menikmati kesenangan dunia mengalami “penghalusan” yang merusak pelayanannya. Sehingga ia tidak lagi memiliki kelenturan beradaptasi dalam segala situasi. Tuhan Yesus menyatakan bahwa serigala memiliki liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya, pernyataan ini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus sendiri tidak menuntut kesenangan atau kenyamanan hidup. Oleh sebab itu seorang pelayan Tuhan harus berani menderita seperti Yesus (Rm. 8:17). Paulus sebagai pengikut Yesus juga memiliki pola pelayanan yang sama. Dalam kesaksiannya ia berkata: Dalam pelayanan itu aku banyak mencucurkan air mata dan banyak mengalami pencobaan dari pihak orang Yahudi yang mau m...

Comments

Login or signup comment.