Kematian Diri yang Permanen

Kita dikondisi untuk benar-benar serius dengan Tuhan dan puncak keseriusan kita dengan Tuhan adalah menjadikan Tuhan satu-satunya harta kita; yang sama dengan satu-satunya kebahagiaan kita. Dan hal itu tidak akan terwujud di dalam hidup kita jika kita tidak mengalami kematian; kematian dari manusia lama kita, kematian dari kedagingan kita. Memang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tetapi Roh Kudus akan menolong kita mewujudkan kematian terhadap diri sendiri ini. 

Pertanyaannya, apakah kita bersedia mati? Sebab tidak ada harga yang lebih dari ini untuk membalas kebaikan Tuhan. Mati! Kurang dari itu tidak pantas, kurang pantas, tidak cukup. Cara untuk membalas kebaikan Tuhan kepada kita adalah mati. Kita yang bersedia dan memiliki komitmen, itu pun harus masih belajar bagaimana mengalami kematian terhadap diri sendiri. Dan kalau kita tidak bersedia, jauh dari kehidupan yang dikehendaki oleh Allah, kita tidak akan mengerti kematian terhadap diri sendiri ini. Namun karena sering kita tidak stabil, situasional, maka kita masih sering menghidupkan diri kita sendiri. Dan ketika kita menghidupkan diri kita sendiri, Tuhan tidak senang. Dan kalau sudah sampai tingkat tertentu, Tuhan terlukai. 

Bukan karena Tuhan memiliki kepentingan, melainkan karena Tuhan tahu kalau kita tidak mati, kita tidak hidup. Tuhan tahu kalau kita tidak mati, kita tidak bisa dimuliakan bersama Yesus, padahal kemuliaan itu Tuhan sediakan bagi kita. Seperti seorang ayah yang ingin mewariskan perusahaannya kepada anaknya, tapi anaknya tidak mampu menerima itu. Itu duka cita, sehingga orang tua harus memercayakannya kepada pegawai atau staf kepercayaannya. Tuhan memberi kita kesempatan untuk berproses. Sebagaimana seekor kupu-kupu, ia harus meninggalkan kepompong, artinya dari ulat berproses agar bisa jadi kupu-kupu yang cantik. 

Tuhan mau kita meninggalkan keadaan sebagai ulat, sebagai kepompong, dan kita berkejar-kejaran dengan waktu. Ini bukan diplomasi atau sekadar ucapan khotbah, namun ini adalah kebenaran yang sungguh-sungguh harus kita perhatikan. Proses ini benar-benar berat, apalagi untuk orang-orang muda. Berat bukan berarti tidak bisa dipikul, namun harus dirasakan beratnya dulu. Tetapi melihat kenyataan di lingkungan kita, mereka tidak mengerti beratnya memasuki proses kematian. Mereka masih sembarangan bicara, sembarangan menghakimi orang, sembarangan menilai orang. Dan itu menunjukkan kodrat dosa yang dikobarkan, yang sampai ke tingkat tertentu tidak akan pernah bisa mati. 

Dan setan menunggu, menanti dan mengharapkan keadaan itu, di mana seseorang tidak bisa balik lagi, sampai titik tidak balik. Mungkin kita tidak menduga bahwa mengikut Yesus akhirnya membawa kita pada fase seberat ini. Tuhan sudah sering memojokkan kita dengan membuat kita terpojok. Oleh anugerah Tuhan, kita dilukai Tuhan sampai benar-benar tidak mengharapkan kebahagiaan dari dunia ini. Namun di balik itu, kita dapat memasuki proses kematian dengan lebih ringan.

Ketika Yesus Yang Mulia, Tuhan kita berkata, “Sudah saatnya tiba, muliakanlah Anak-Mu,” artinya bunuhlah Aku. Walaupun di Taman Getsemani terjadi pergumulan hebat, tetapi kesediaan ini ada. Dan kita melihat kemanusiaan seutuhnya dari Yesus. Di Taman Getsemani, sempat Yesus menjadi bimbang. Tapi Yesus mengalahkan kebimbangan-Nya dengan mengatakan, “Bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk.22:42). Dan itu merupakan pergumulan yang natural; pergumulan yang kita juga alami. Kita punya komitmen mati, tapi dalam pelaksanaannya sering kita harus berjuang hebat antara kehendak kita dan kehendak Bapa. 

Hanya kalau kita bisa meninggalkan manusia lama, mematikan diri sendiri, baru kita bisa sungguh-sungguh menyenangkan hati Allah Bapa. Maka, jangan hanya sekadar dipahami secara nalar, tapi harus dirasakan di dalam batin, bahwa Bapa bisa kita senangkan. Dan itu membahagiakan sekali; hati kita bisa pecah, hancur. Pada waktu Tuhan membawa kita ke pencobaan di mana kita berkesempatan berbuat dosa dan kita memilih tidak, pasti daging kita luka, tapi hati Tuhan disenangkan. Waktu kita dibawa kepada keadaan di mana kita harus membagi roti kita, kita harus menjadi anggur yang tercurah untuk orang lain, hati Bapa disenangkan. Walaupun kita sepertinya rugi, tetapi itu menyenangkan atau membahagiakan hati Bapa.

Selanjutnya, kita harus belajar sendiri, bagaimana mematikan diri sendiri. Tuhan menghendaki secara rohani, yaitu kita menanggalkan manusia lama kita tahap demi tahap. Dan kalau kita tahu bahwa semakin kita memasuki proses kematian yang permanen adalah semakin memuliakan Allah, maka kita pasti berusaha dengan ambisi yang kuat untuk meninggalkan manusia lama kita.  Yang kita ingini adalah supaya tubuh kita dapat menjadi alat peraga-Nya. Jiwa kita menjadi bejana, pikiran dan perasaan-Nya, dan ini luar biasa sekali. Yang suatu hari kita bisa membuktikan bahwa tidak ada kehidupan tanpa kematian dan tidak ada kemuliaan tanpa kematian. 

Peperangan

Makin hari ke depan, makin sedikit orang yang setia kepada Tuhan. Ada seleksi alam, yang natural yang terjadi dalam kehidupan orang percaya. Mereka yang kurang apalagi tidak bersungguh-sungguh di dalam Tuhan, maka satu per satu akan tumbang, akan tersingkir. Karena dunia makin kuat menarik orang untuk masuk dalam persekutuan dengan kuasa kegelapan. Pengaruh dunia makin kuat, keindahan dunia makin memikat, makin mempesona. Manuver dan gerakan kuasa kegelapan makin intens, makin aktif. Dan inilah yang akan membuat banyak orang Kristen berguguran. Kalau Tuhan Yesus berkata di Injil Matius 24:12b, “Kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin,” artinya karena pengaruh dunia yang jahat, yang terjadi di sekitar orang percaya, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin.

Kalau bicara mengenai kasih, ini memang bisa juga terjadi atas orang-orang di luar Kristen. Tetapi lebih besar kemungkinan, ayat ini hanya ditujukan kepada orang Kristen. Sebab ayat yang berikut, di dalam Matius 24:13, “Tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat.” Jadi ini konteksnya adalah orang percaya yang bertahan sampai kesudahannya, yang bertekun sampai pada kesudahannya, yang tetap gigih, merekalah yang akan sampai pada akhirnya karena mereka tetap setia.

Kita harus membuka mata hati kita dan minta pertolongan Roh Kudus untuk bisa melihat setiap api panah yang ditujukan kepada kita. Dan itu bisa melalui teman, persahabatan, hobi, pekerjaan dan berbagai keadaan di sekitar kita. Kita harus berani sungguh-sungguh melawan dan berkata, “tidak!” Jadi kita harus memiliki persekutuan yang benar dengan Tuhan. Maka kita tidak boleh tidak menyediakan diri bertemu dengan Tuhan. Fokus harus ditujukan kepada acara yang berlangsung atau pemberitaan firman Tuhan yang berlangsung. Kita harus benar-benar mengalokasikan waktu untuk itu, sehingga kita menerima firman Tuhan yang merupakan pemeliharaan rohani kita. Dan kita bisa menjadi peka terhadap api panah kuasa kegelapan yang ditujukan kepada kita. 

Iblis dalam kelicikan dan kecerdikannya, menyerang kita dengan api panah kuasa gelap. Dan pengaruhnya, sering tidak kita sadari. Banyak hal yang Iblis lakukan agar kita tidak bernyala-nyala dalam Tuhan, agar kita akhirnya menjadi dingin dan tawar. Kita harus benar-benar peka, karena Iblis menjadikan banyak hal sebagai kendaraan untuk memadamkan iman kesetiaan kita kepada Kristus. Dan kita harus serius dalam perjuangan ini. Jangan anggap remeh kuasa kegelapan! Bukan berarti kita takut, tetapi jangan anggap remeh kuasa kegelapan, supaya kita alert, aware terhadap api panah kuasa kegelapan yang bisa ditujukan kepada kita.

Rasul Paulus berkata dalam 2 Korintus 11:3, “Aku takut kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus, seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya.” Jadi beralasan sekali Paulus mengatakan ini, karena kuasa kegelapan bermanuver begitu aktif, intens, cerdas dan tentu jahat, supaya orang percaya menjadi tawar hati dan ikut jalan dunia atau terpengaruh jalan dunia ini. Tapi dengan duduk diam di kaki Tuhan, mendengarkan firman Tuhan dengan sungguh-sungguh secara berkesinambungan, kita menjadi kokoh, kuat, dan selalu waspada terhadap kuasa kegelapan. 

Dan kita bisa melihat gerak-gerik dari kuasa kegelapan yang mau memengaruhi kita dan manusia lama kita yang mau dipancing untuk kembali dapat dihidupkan dan menguasai kita. Ini peperangan! Jangan anggap remeh! Kalau Tuhan Yesus berkata, “… akan tetapi jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?” (Luk. 18:8), sejatinya itu adalah kalimat yang memuat ancaman. Bukan Tuhan yang mengancam kita, tapi dunia yang akan mengancam kita. Berhati-hatilah! Seperti misalnya orang tua berkata, “Aku takut, kamu itu bisa lulus tidak dari ujian ini?” Bukan orang tua yang mengancam, tapi orang tua mengingatkan bahwa ujian yang anaknya akan hadapi adalah ujian yang sulit, yang berat. 

Dengan pernyataan itu, Tuhan Yesus mau mengingatkan kita, agar kita berhati-hati! Agar kita sungguh-sungguh alert, aware terhadap kuasa kegelapan yang bisa menghancurkan kehidupan rohani kita. Siapa pun kita, harus berhati-hati. Karenanya kita harus saling mendoakan—khususnya untuk para hamba Tuhan, supaya mereka tetap menjaga kekudusan dan kesucian, dan bisa menjadi saluran berkat Tuhan untuk jemaat. Jadi ingatlah, dunia akan mengalami keguncangan terus. Pada masa penampian ini mulai dipisahkan antara gandum dan lalang. Kristen yang tidak sungguh-sungguh, akan tersingkir. Yang kudus, bertambah kudus. Jangan berhenti! Kita harus tetap bertekun mencari Tuhan.

Tegas Terhadap Diri Sendiri

Kita harus benar-benar tegas terhadap diri sendiri; mengambil posisi yang jelas, tidak mendua hati; apakah kita benar-benar mengikut Yesus dan bermaksud untuk bersama dengan Tuhan Yesus di kekekalan atau tidak? Dulu kita pernah menjadi orang yang tidak tegas, tidak memilih posisi dengan jelas, gamang, bias. Masuk neraka tentu tidak mau, namun masuk surga pun tidak rindu. Sekarang maunya apa? Itulah yang terjadi dalam kehidupan banyak orang. Kita komunitas pecinta Suara Kebenaran dan khususnya para hamba Tuhan, kita jelas memiliki pilar langit baru bumi baru, artinya fokus kita harus tertuju ke sana. 

Namun itu pun tidak membuat kita benar-benar punya posisi yang kokoh, karena kita masih memiliki banyak kesenangan. Tetapi seiring berjalannya waktu, Tuhan proses sehingga kita semakin menghayati perkataan Tuhan Yesus, bahwa kita bukan dari dunia ini. Dan kita semakin bisa menempatkan diri pada posisi bahwa, “Aku adalah warga Kerajaan Surga. Dunia bukan rumahku.” Bersyukur kalau kita sampai bisa pada penghayatan yang benar akan hal ini, dan mengarahkan diri kita ke Kerajaan Surga. Tuhan mengadakan banyak kejadian di dalam hidup kita. Sampai pada titik di mana kita patah hati dengan dunia. Kita hayati betapa jahatnya dunia ini, betapa rusaknya manusia.

Dan itu menjadi cermin untuk kita, artinya jangan kita melakukan kesalahan, jangan membuat bencana atau penderitaan bagi orang lain. Melewati pengalaman hidup, akhirnya kita memilih, “Aku pulang saja.” Ini bukan berarti lalu kita menjadi pesimis, tidak bergairah hidup; kita optimis! Optimis kita adalah kehidupan yang akan datang, yaitu di langit baru bumi baru. Dan sekarang kita kerja keras, bagaimana kita bisa menyelamatkan jiwa sebanyak mungkin dan bagaimana kita menjaga kesucian, tidak mencintai dunia sama sekali. Dengan cara demikian, kita menyelamatkan jiwa-jiwa. 

Lalu, apa sekarang tugas kita? Yang pertama, hati kita harus dipindahkan ke surga, karena dunia bukan rumah kita. Kita sedang menanti kedatangan Tuhan Yesus yang menjemput kita dan yang berkata, “… supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada” (Yoh. 14:3). Tuhan Yesus menghendaki di mana Ia berada, kita pun ada. Jadi kalau sampai kita tidak merindukan bertemu dengan Tuhan Yesus, ada yang salah dalam hidup kita. Mari kita tegas, terutama kita harus tegas terhadap diri sendiri, bahwa dunia bukan rumah kita. Kita mempersiapkan diri untuk pulang ke surga. Jangan berbuat dosa lagi. Hidup sekudus-kudusnya, hidup sesuci-sucinya. Jangan terikat dengan hiburan dan tontonan dunia ini. Kita harus perbanyak waktu kita duduk diam di kaki Tuhan. 

Kekhawatiran kita bersama adalah banyak orang tidak sanggup untuk memindahkan hati ke surga karena hatinya terikat dengan dunia. Masih merasa bahwa dirinya itu penduduk bumi, mau menikmati dunia atau bumi ini seperti orang lain menikmati. Pada kesempatan ini, kita mau bersikap tegas kepada diri sendiri. Pancangkan perhatian kita di dunia akan datang, di langit baru bumi baru. Tegas terhadap diri sendiri bahwa dunia bukan rumah kita. Dan tidak ada yang kita nantikan lagi dari apa yang ada di bumi ini. Kita hanya menantikan kedatangan Tuhan Yesus di awan-awan permai menjemput kita atau kalau waktu itu belum datang, kita meninggal dunia, kita dijemput malaikat masuk Rumah Bapa. 

Yang kedua, kita harus hidup sekudus-kudusnya, sesuci-sucinya. Jangan melukai hati Tuhan. Dan itu, bisa. Adalah sebuah keniscayaan untuk hidup suci, hidup tak bercacat tak bercela. Jangan setengah-setengah, jangan bimbang hati. Hanya orang yang sungguh-sungguh memindahkan hati di Kerajaan Surga dan meletakkan seluruh pengharapan kebahagiaannya hanya nanti di langit baru bumi baru merupakan orang yang terbebas dari ikatan percintaan dunia, orang yang makin takut akan Allah, takut berbuat dosa, dan orang-orang ini pasti mencintai Tuhan dengan benar. Ayo, kita militan!

Penyesalan Kekal

Kalau nanti kita menutup mata dan memasuki kekekalan, apa yang akan paling kita sesali? Bisa karena ada sesuatu yang mestinya kita kerjakan, tidak kita kerjakan, belum kita kerjakan atau tidak selesai kita kerjakan. Lebih celaka lagi kalau seseorang sampai terusir dari hadirat Allah selama-lamanya. Pasti besar penyesalannya dan tak terbayangkan, karena apa yang harus dia kerjakan, tapi tidak dikerjakan. Mestinya hari ini kita sudah memiliki perasaan krisis. Ada banyak hal yang mestinya kita kerjakan untuk Tuhan, kita selesaikan untuk Tuhan, tapi kita tidak lakukan atau kita tidak sungguh-sungguh mau menyelesaikannya.

Karena kita telah hanyut dengan berbagai persoalan pribadi dan kita semua tahu bahwa seseorang tidak akan pernah selesai dengan persoalan pribadi. Selalu akan ada persoalan dalam hidup ini. Kecuali ketika seseorang menyerah kepada Tuhan dan berkata, “Mati atau hidup, aku milik-Mu Tuhan. Kaya atau miskin, aku milik-Mu. Sehat atau sakit, aku milik-Mu. Sekarang yang aku kerjakan hanya apa yang Engkau perintahkan kepadaku untuk aku lakukan dan tugas yang harus aku tunaikan.” Sehingga kalau kita menghadapi masalah—apakah sakit, ekonomi, keluarga—maka itu menjadi persoalan Tuhan.

Jadi kalau kita masih cemas dan takut, berarti itu masih menjadi persoalan kita, bukan Tuhan. Padahal segenap hidup kita milik Tuhan. Maka mestinya standarnya adalah: hidupku, nafasku, detak jantungku adalah pekerjaan Tuhan. Tentu kita mengerti, bagaimana bertanggung jawab, menjaga kesehatan, bekerja keras, yang semua itu adalah milik Tuhan. Tubuh harus kita jaga kesehatannya. Kalau sakit karena salah kita, ya kita ke dokter. Kalau mau minta mukjizat, silakan. Mukjizat tidak bisa kita paksa. Iman harus datang dari suara Roh, harus rhema

Dengan begitu, hidup kita menjadi simpel dan merdeka. Sebenarnya ini tingkat tinggi dari kekristenan, yaitu ketika seseorang melepaskan dirinya dari segala miliknya. Banyak orang itu curang, mereka minta berkat Tuhan, tapi ketika diberkati—tubuh sehat, ekonomi bagus—ia hidup suka-suka sendiri, dia mau menikmati apa yang dia mau nikmati. Padahal begitu meninggal dunia, mestinya ada banyak pekerjaan yang dia lakukan. Apa pun yang kita kerjakan, kita kerjakan untuk Tuhan. Tidak ada yang kita beli, tidak ada yang kita miliki hanya untuk kesenangan kita, apalagi untuk prestise. Semua itu harus berguna untuk pekerjaan Tuhan. Kalau kita beli baju, yang pantas supaya bisa tampil dengan baik untuk Tuhan, bukan untuk sombong atau pamer. Pada umumnya orang tidak berpikir begitu. Kalau susah, mereka minta berkat Tuhan. Tapi kalau sudah diberkati, mereka tidak memikirkan pekerjaan Tuhan. 

Kita tidak bisa menghindar bahwa kita akan mati. Dan hidup yang sesungguhnya itu nanti. Jadi kita ini sekarang harus hidup maksimal untuk Tuhan! Dan ingat, bisa melakukan pekerjaan untuk Tuhan adalah suatu kehormatan! Sejatinya, Tuhan tidak butuh apa-apa dan siapa-siapa. Tapi kalau sampai kita bisa melakukan sesuatu untuk Tuhan, itu kehormatan! Namun, banyak orang malah mau menghisap dan mengeksploitasi Tuhan. Maka memang yang penting itu karakter. Kalau karakter seseorang belum beres, maka di dalam pekerjaan Tuhan pun dia merepotkan orang. Masih mudah tersinggung, masih gila hormat. Dia jadi benalu dan menyusahkan pekerjaan Tuhan. 

Banyak orang yang mestinya bisa berinvestasi untuk Tuhan dan pekerjaan-Nya, tapi tidak melakukannya. Memang, ada banyak orang yang tidak berani berinvestasi karena melihat bengkoknya pendeta, bengkoknya pelayan Tuhan, penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan uang. Kita yang benar juga bisa dicurigai. Tapi kalau kita dicurigai, diam saja. 

Semua akan Berakhir

Kalau kita menyadari bahwa kita adalah musafir yang sedang melakukan perjalanan menuju Kerajaan Surga, maka kita pasti bersedia kehilangan apa pun dan siapa pun. Ini bukan berarti lalu kita mau memisahkan diri dengan orang-orang yang kita kasihi, tetapi maksudnya adalah kita tidak terikat oleh manusia dan harta. Dan selanjutnya, kita mau hidup sebersih-bersihnya sebab kita tidak tahu kapan ujung jalan hidup kita. Kita ini musafir yang sedang menuju langit baru bumi baru. Itulah tempat perhentian kita satu-satunya, tidak ada tempat perhentian lain.

Kita harus melepaskan diri dari kesenangan-kesenangan dunia dan hobi-hobi yang tidak memuliakan Tuhan. Kita juga rela untuk mematikan semua hawa nafsu guna hidup suci. Dan tahukah bahwa ketika kita menghayati bahwa kita ini musafir di dunia, maka persoalan-persoalan berat akan terasa ringan karena semua ini akan berakhir. Ingat, semua ini akan berakhir. Demikian juga ketika kita sedang senang-senang, suasana nyaman, jangan kita terhanyut di sana. Ingat, semua akan berakhir, semua ada ujungnya. Jadi, kita tidak hanyut dengan kesenangan-kesenangan yang ada. Maka, tidak ada yang boleh kita harapkan di bumi ini, jangan berharap kebahagiaan dari dunia ini. 

Sebab ketika kita mengharapkan kebahagiaan dari dunia ini, kita pasti bersikap atau berlaku tidak setia kepada Tuhan. Seandainya kita sukses dalam studi, karier, bisnis, banyak uang, jangan berharap semua itu membahagiakan. Sebaliknya, kalau kita sedang menghadapi masalah berat, pengkhianatan, kekecewaan, jangan kita berpikir bahwa kita tidak akan menikmati kebahagiaan karena situasi hidup. Tuhan masih bisa memberikan kita kebahagiaan dan sukacita.  Hidup ini tragis, tapi kalau kita ingat bahwa semua akan berakhir, tragisnya hidup ini tidak akan terasa tragis, karena kita memiliki pengharapan langit baru bumi baru. 

Inilah yang menjadi kesukaan kita. Satu hal yang mestinya kita miliki, yaitu kebahagiaan kita dijemput oleh Tuhan. Itulah kebahagiaan kita. Seorang musafir pasti merindukan sampai tujuan, tidak ada tempat yang ia merasa betah, karena yang dituju atau tempat tujuan itu—Kerajaan Tuhan Yesus—lebih indah dari segala sesuatu. Jadi, kita tidak akan terikat dengan kesenangan dunia dan terparkir di dunia ini. Kita rindu dijemput oleh Tuhan, dan kita dibawa ke dalam Kerajaan Surga. Kalau kita sudah tidak rindu dijemput Tuhan Yesus, pasti ada sesuatu yang salah dalam hidup kita. Kristen yang normal adalah Kristen yang merindukan dijemput oleh Tuhan, maka jangan berharap dunia ini membahagiakan.

Kalau sekarang kita berada dalam kondisi hidup yang berat, sangat berat, jangan sampai kita kehilangan kebahagiaan dan sukacita, karena kebahagiaan kita di dalam Tuhan yang sedang menuntun kita ke negeri di mana tidak ada penderitaan, air mata dan kematian; itu yang kita rindukan, kita nantikan. Sebaliknya, kalau kita sekarang hidup dalam keadaan kelimpahan, kesenangan tanpa masalah, jangan berpikir kita akan selalu bahagia dengan keadaan itu, sebab semua akan berakhir. Tentu kita tidak mengharapkan ada bencana di depan, tapi bencana bisa datang setiap saat, baik bencana atas seluruh komunitas masyarakat, atau kehidupan pribadi, semua bisa terjadi. Tetapi kalau kita percaya bahwa hidup ini memang sementara, dan tragis, dan kita menantikan langit baru bumi baru, maka hati kita menjadi kuat karena kita menyongsong kedatangan Tuhan Yesus. 

Ingat, bahwa ujung perjalanan hidup kita itu bisa kita jumpai kapan saja—bisa hari ini, besok, lusa, kapan pun—karenanya jangan berhenti dalam perjalanan. Artinya teruslah bertumbuh, lepaskan diri dari segala ikatan kesenangan dunia, makin hidup kudus, dan mengambil bagian dalam pelayanan, buatlah sesuatu yang berguna untuk pekerjaan Tuhan, supaya kita tidak hanya menghabiskan waktu kita untuk diri kita sendiri, untuk keluarga kita sendiri, untuk orang-orang yang kita kasihi sendiri. Ada banyak orang yang perlu perhatian kita, yang perlu kita kasihi. Masalahnya, apakah kita telah mengalami perubahan yang signifikan? Perubahan yang membuat kita benar-benar semakin berkenan di hadapan Tuhan.

Hidup ini menjadi berharga kalau kita sungguh-sungguh hidup sebagai musafir yang tidak terikat kesenangan dunia, makin hari hidup kita makin kudus, makin berkenan di hadapan Tuhan. Di dalam firman Tuhan ada satu pernyataan yang indah, Mazmur 84:5-6, “Berbahagialah orang-orang yang diam di rumah-Mu, yang terus-menerus memuji-muji Engkau. Berbahagialah manusia yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berhasrat mengadakan ziarah!” Orang yang intim dengan Tuhan, tidak bisa tidak, dia pasti mengadakan perjalanan menuju Rumah Bapa. Jadi, tidak ada orang yang intim dengan Tuhan yang tidak ingin kembali ke surga, atau tidak ingin dijemput oleh Bapa. Ketika kita bergaul dengan Tuhan, maka mulai ada kerinduan akan Kerajaan Surga, seiring dengan kerinduan kita memandang wajah Tuhan Yesus. 

MUSAFIR

Musafir adalah orang yang melakukan perjalanan menuju satu tempat. Jadi, seorang musafir adalah seorang yang tidak akan menetap di satu tempat dalam waktu lama. Dia akan terus berjalan sampai ke tempat tujuan. Kita adalah musafir-musafir, perantau, atau yang dikatakan dalam firman Tuhan, kita adalah pendatang, atau bisa dikatakan, kita adalah orang-orang yang menumpang di bumi (1 Ptr. 1:17). Dalam teks aslinya, digunakan kata paroikias. Ironis, banyak orang Kristen lupa bahwa dia adalah orang yang menumpang di bumi, sehingga tidak melakukan perjalanan secara benar. Artinya, dia sering berparkir bahkan menetap di sebuah tempat, berarti gagal mencapai tujuan. 

Bumi ini merupakan tempat kita menumpang sementara. Ini prinsip yang sangat dasariah atau fundamental. Kalau kita tidak mengerti hal ini, tidak merenungkannya dan menghayatinya dengan benar, maka tidak mungkin kita menjadi orang Kristen yang benar. Dengan menyadari dan menghayati bahwa kita adalah orang yang menumpang di bumi—kita adalah musafir, perantau yang sedang mengadakan perjalanan menuju satu tujuan—maka kita tidak akan membiarkan diri kita terikat oleh sesuatu. Sesuatu itu bisa berupa kesenangan hidup, ikatan dosa atau nafsu atau berupa masalah-masalah yang mencuri perhatian dan fokus kita, sehingga kita tenggelam di dalam masalah-masalah tersebut. 

Orang Kristen itu seperti bangsa Israel yang hidup dalam perbudakan bangsa Mesir. Lalu Tuhan menyuruh Musa untuk membebaskan umat-Nya dari perbudakan bangsa Mesir. 2000 tahun yang lalu, Tuhan Yesus datang ke dunia memikul dosa-dosa kita. Tuhan Yesus mengajak kita untuk diungsikan, untuk keluar dari dunia ini; dunia ini seperti Mesir, dan Tuhan menghendaki kita menuju Kanaan Surgawi. Kalau bangsa Israel dari Mesir ke Kanaan menempuh jarak atau distance, tapi kita orang percaya sedang menjalani hidup menuju langit baru bumi baru, kita harus menempuh perubahan hidup. Kalau orang tidak menyadari dan tidak menghayati bahwa dirinya adalah musafir, maka ia tidak peduli dengan perubahan hidup—apakah tambah baik atau tidak—sebab fokusnya hanya kesenangan-kesenangan yang dapat diteguk dari dunia ini atau kenikmatan-kenikmatan dosa dalam daging dan jiwanya atau tenggelam dengan masalah-masalah yang digumulinya. 

Dan setan berusaha agar orang-orang Kristen gagal fokus. Hati-hati, setan bisa memberi banyak kesenangan, kegirangan yang itu tidak kita nikmati bersama Tuhan. Dan setan menggiring kita ke dalam kegelapan abadi. Setan menawarkan kesempatan-kesempatan berbuat dosa dan menikmatinya sampai kita terikat dengan dosa-dosa itu, dan akhirnya kita tidak pernah bertumbuh. Bahaya, jangan sampai tertipu oleh kuasa kegelapan. Tidak bertumbuh dalam iman, sehingga menjadi pribadi yang materialistis, dan tidak berpikir bagaimana mengalami perubahan untuk semakin berkenan kepada Tuhan dan menyenangkan hati Tuhan. Banyak orang yang hidupnya dibelenggu oleh satu keinginan ke keinginan yang lain, dari satu barang ke barang yang lain. Yang akhirnya, semua yang dimiliki itu pun akan lenyap. Sementara manusia batiniahnya tidak terbentuk. Ini adalah orang-orang yang sebenarnya menyembah Iblis, sebab ketika kita mengingini dunia berarti kita menyembah Iblis. 

Atau mereka yang didera banyak masalah, sehingga fokusnya hanya masalah itu saja; bagaimana bisa keluar dari masalah tersebut. Benar, kita semua punya masalah. Tapi jangan sampai masalah itu menenggelamkan kita. Kita harus menangkap, kita harus tahu, bagian mana dalam hidup kita yang Tuhan mau ubah melalui masalah tersebut. Jadi yang kita cari bukan hanya penyelesaian masalah itu sendiri, melainkan penyelesaian karakter kita yang masih buruk, karakter kita yang tidak senonoh, karakter kita yang tidak kudus. Tuhan membersihkan karakter-karakter buruk kita dengan masalah-masalah yang ada. 

Dan kalau kita sadar, kita ini musafir yang sedang menuju langit baru bumi baru, kita tidak akan bersungut-sungut menghadapi keadaan apa pun, karena di dalam dan melalui keadaan itu, Tuhan mempersiapkan kita untuk mewarisi Kerajaan Surga bersama-sama dengan Tuhan Yesus. Jadi, Tuhan menggarap kita lewat masalah-masalah guna menyiapkan kita layak menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah. Sebesar apa pun masalah yang kita hadapi, lihatlah berkat kekal di balik masalah tersebut. Lihatlah pembentukan Tuhan melalui masalah tersebut. Ini adalah berkat abadi atau semacam nutrisi untuk jiwa kita, atau kosmetik untuk batin agar kita memiliki batin yang sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah.

Menikmati Kematian Diri

Kita nanti akan mengerti betapa asyiknya menikmati kematian diri. Karena ketika kita menikmati kematian diri, kita menikmati Tuhan. Firman Tuhan mengatakan, “Kamu tak dapat mengabdi kepada dua tuan.” Orang yang masih mengabdi kepada tuan lain, dia masih hidup; dia belum mati. Kalau dia mati, dia pasti hanya punya Tuhan. Jadi “mati” di sini maksudnya sama dengan menyangkal diri. Maka, yang pertama, jangan ingini apa pun. Kalau kita mengingini sesuatu, sesuatu itu harus berguna untuk pekerjaan Tuhan, bukan untuk menyenangkan diri kita. 

Yang kedua, jangan berbuat dosa. Ini terkait dengan yang pertama, karena kita menikmati dosa, menikmati kedagingan, itu membuat kita tidak bisa berjalan seiring dengan Tuhan. Tuhan itu punya tatanan dan sempurna. Dalam 1 Petrus 1:16 tertulis, “Kuduslah kamu sebab Aku kudus.” Setan tahu bahwa kalau kita hidup kudus itu membahayakan sekali baginya. Tuhan tidak ingin kehilangan satu jiwa pun. Setan rupanya juga tidak ingin kehilangan satu jiwa. Dia mau setiap orang itu masuk dalam persekutuan dengan kerajaan gelap. Maka mari kita melakukan apa yang Tuhan perintahkan: mati. Kalau tidak mati, kita tidak akan bisa dipenuhi Roh Kudus. Bejana hati kita masih ada isi, tidak bisa penuh. 

Kita sudah terlalu lama dininabobokan dengan agama Kristen yang tidak sesuai dengan kekristenan yang sejati, yang mestinya berbasis pada pribadi Yesus yang melepaskan semuanya demi menunaikan tugas Bapa. Ini benar-benar konyol, tetapi inilah yang wajar dan benar. Kita menjadi orang-orang yang diberkati Tuhan, menjadi kekasih Tuhan, dimiliki Tuhan, dan memiliki Tuhan. Kalau kita tidak benar-benar mati, berarti kita masih memiliki hak, maka kita tidak bisa dimiliki Tuhan dan memiliki Tuhan. Seluruh hidup kita adalah milik Tuhan. Tidak ada yang berhak kita miliki. Tidak salah menikah, punya anak, membangun rumah tangga, tapi dasarnya apa? Kalau dasarnya karena orang lain juga menikah dan punya anak, itu meleset.

Kadang-kadang kita punya perasaan masih tersinggung atau apa, itu menunjukkan yang kita belum 100% dimiliki Tuhan. Dan sejujurnya, kita masih ada begitu, kadang-kadang. Kalau dikhianati, direndahkan, masih ada luka. Berarti kita masih memiliki diri sendiri, dan itu salah. Tuhan melatih kita untuk memiliki perasaan Tuhan. Kita harus rela kehilangan nyawa, baru memperoleh nyawa, demikian firman Tuhan. Menikmati kematian diri berarti menikmati Tuhan, karena ketika kita mati bagi diri kita sendiri, Yesus hidup di dalam diri kita. Yesus tidak bisa hidup dalam diri kita kalau kita masih hidup. Tuhan tahu kita butuh makan, kendaraan, dan lain-lain. Tuhan tahu, selama kita mengingini hal itu untuk pekerjaan-Nya, Tuhan pasti cukupi, Tuhan pasti memberi. Kalau dikatakan kita tidak boleh punya kesenangan, bukan berarti lalu kita tidak senang hidup. Kita mau sampai ke titik zenit; titik puncak kekristenan.

Menikmati kematian kita itu indah sekali. Menikmati Tuhan itu indah. Lalu mengapa hadirat Tuhan tidak terasa di dalam gereja? Karena kita tidak berani mati, pemimpinnya tidak berani mati total, sehingga hadirat Tuhan tidak nyata. Karena tidak berani mati, maka kita tidak berjumpa Tuhan. Sehingga jemaat pun akhirnya digiring, dipenjara dalam penjara agama Kristen. Tidak ada perjumpaan dengan Tuhan dan tidak pernah berjumpa. Dan Tuhan bisa membiarkan itu kalau seseorang memang keras kepala. Maka, para gembala—juga para pengajar—harus berani membayar harga. Kalau kita tidak mati, kita tidak akan bisa jadi bejana Tuhan. Satu solusinya: mati. Kita akan membawa hadirat Tuhan di mimbar, kita akan menemukan kebenaran-kebenaran Tuhan yang membuat orang tercandui untuk mendengar khotbah. 

Kalau hanya mau pintar khotbah, mudah. Baca banyak buku, bikin persiapan di perpustakaan. Tapi untuk menghidupkan Tuhan, kita harus mati. Dan Tuhan pasti menyisakan orang-orang yang sungguh-sungguh mencari Tuhan. Tidak dibutuhkan gelar kesarjanaan kita, tapi ketika kita hadir, Tuhan hadir bersama kita. Barulah kita bisa mengubah orang. Ada satu hal yang membuat kita ngeri, Tuhan sering seperti diam. Kita masih berantakan, tapi Tuhan seperti diam. Dia tegur sekali, dua kali, tiga kali. Kalau kita tidak mau mengerti, maka kita tidak akan pernah bisa mengerti. Jangan sampai kita mati, kita masih membawa wajah diri kita, sebab seharusnya kita membawa wajah Yesus yang sudah menjadi wajah kita. 

Banyak jiwa sedang menuju kegelapan. Ini bukan bisnis kesibukan gereja, ini bisnis menyelamatkan jiwa. Siapa yang peduli akan hal ini? Tentu kita yang harus peduli kepada pekerjaan Tuhan ini. Kita bukan karena mau cari uang atau cari apa pun. Kita mencari jiwa-jiwa. Kesempatan ini mahal sekali. Menghidupkan Anak Allah di dalam diri kita. Dan nilai kesempatan ini tidak bisa diukur dengan uang. Kalau kita tidak mulai sekarang punya komitmen mati, maka kita tidak akan pernah bisa mengerti. 

Mengawasi Diri

Mengapa orang tidak mengalami perjumpaan dengan Tuhan? Perjumpaan dengan ilmu tentang Tuhan mudah sekali diperoleh. Ironis, orang yang memiliki pengetahuan tentang Tuhan, merasa sudah berjumpa dengan Tuhan. Ada satu syarat untuk bisa mengalami Tuhan, yaitu harus rendah hati. Kalau tidak rendah hati, nanti penuh perbantahan, rejection; menolak. Tuhan mengingatkan kita, “Awasi dirimu dan awasi pengajaranmu.” Orang bisa mengawasi pengajaran, tapi tidak mengawasi diri. Tidak ada cara lain untuk kita bisa mengawasi diri sehingga mengenal diri dengan baik kecuali bertemu dengan Tuhan. Orang berdoa juga belum tentu bertemu dengan Tuhan. Sebab kalau tidak sungguh-sungguh mencari hadirat Tuhan, tidak bisa. 

Karena untuk bertemu Tuhan, syaratnya satu kata: mati. Allah tidak bisa kompromi. Kalau orang belum “mati”, dia belum bisa bertemu Tuhan. Sehingga dia tidak akan mungkin mengajarkan kebenaran yang membuat orang berubah. Tentu kita mengerti maksud “mati” di sini bukan mati secara fisik, lalu dikubur. Namun, yang dimaksud oleh Alkitab adalah kehilangan nyawa. Ini sama dengan menyangkal diri. Dulu, pengertian kita atas kata ‘menyangkal diri’ adalah menolak perbuatan salah. Padahal menyangkal diri lebih dari itu. Menyangkal diri sama dengan kehilangan nyawa, mati. Jadi harus ada satu momentum di mana kita bersedia mati.

Namun kadang-kadang di momentum tersebut kita berikrar mati, tapi ternyata belum utuh; masih hidup. Masih ada kedagingan, nafsu, cita-cita, kesombongan, harga diri. Nanti ada momentum baru lagi, kita berkomitmen lagi. Sampai pada satu titik kita benar-benar mati. Kalaupun masih ada unsur-unsur manusia lama, itu adalah proses. Namun ingat, kalau kita belum mati, kita tidak bisa menjadi anak-anak Allah. Ini untuk standar umat Perjanjian Baru, yang memang proyeksinya adalah menjadi seperti Kristus, “Hidupku bukan aku lagi, tapi Kristus yang hidup di dalam aku.” Inilah kekristenan yang sejati. 

Orang Kristen di abad mula-mula dilanda aniaya yang begitu hebat. Dari lahir sampai meninggal dunia, mereka mengalami penganiayaan. Dan penganiayaan atau persekusinya tidak seperti hari ini, yang orang masih memiliki nurani untuk menghargai hak-hak asasi orang lain. Waktu itu bengis, kejam, sadis, jahat. Dipancung kepalanya seperti Paulus, atau seperti Petrus digoreng di belanga panas. Dibakar hidup-hidup. Kenapa Tuhan mengizinkan itu? Karena Tuhan mau memurnikan gereja-Nya. Orang yang mengikut Tuhan Yesus harus kehilangan segala sesuatu. 

Lukas 16:11-12, “Jadi, kalau kamu tidak setia dalam hal mamon yang tidak jujur, siapakah yang akan mempercayakan kepadamu harta yang sesungguhnya? Dan jikalau kamu tidak setia dalam harta orang lain, siapakah yang akan menyerahkan hartamu sendiri kepadamu?” Artinya, kita tidak boleh bermilik. Itulah sebabnya di dalam Injil Matius 19:21 dikatakan, “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” Seseorang yang mau ikut Yesus, tidak cukup melakukan hukum, tapi ia harus menjual segala milik dan memberikannya kepada orang miskin, maka barulah dia memperoleh harta di surga. Ini tentu tidak boleh secara harfiah kita kenakan, belum tentu. Bisa ya, bisa tidak. Tetapi maksudnya adalah jangan ada belenggu, semua harus dilepaskan; ‘mati.’ 

Itulah sebabnya syarat untuk bisa berjumpa dengan Tuhan adalah kehilangan nyawa. Orang seperti ini baru bisa benar-benar hidup suci. Jadi komitmennya adalah mati demi Tuhan. Kita harus mati untuk diri sendiri, tapi hidup bagi Tuhan. Mestinya kita harus berani, sebab upah yang tersedia itu besar. Paulus mengatakan, “Penderitaan zaman sekarang ini tidak ada artinya dibanding kemuliaan yang kita akan peroleh.” Hamba Tuhan yang belum mati, pasti mencari keuntungan. Dia bisa menjadi pegawai gereja, tetapi tidak menjadi pegawai Tuhan. Karena mereka mencari hidup, bukan memberi hidup. Dan orang-orang seperti ini tidak pernah bisa menemukan Tuhan. Ibarat balon, itu bukan diisi gas udara yang bisa membuatnya terbang, melainkan diisi batu sehingga tidak bisa terbang. 

Kalau kita percaya Yesus, namun hidup kita tidak seperti Yesus, berarti kita belum percaya. Tidak ada yang memuaskan hati Tuhan, Allah Bapa, lebih dari kita menjadi serupa dengan Yesus, memiliki pikiran dan perasaan-Nya. Rahasia sukses hidup adalah “mati”. Karena kita memiliki harta kemuliaan bersama dengan Kristus; 1 Petrus 1:3-4, harta yang tersimpan di surga. Jadi pilihannya itu hitam atau putih. Kristen yang sungguh-sungguh atau tidak usah sama sekali. Itu sebenarnya sesuai dengan firman, “Kamu tak dapat mengabdi kepada dua tuan.” 

Kebodohan

Yang membuat hidup seseorang itu dinamis bergerak dan bergairah adalah tujuan yang hendak dicapai, atau harapan yang hendak dicapai. Kalau orang tidak memiliki tujuan yang menjadi pengharapan untuk dicapai, maka hidup orang tersebut pasti tidak bergairah, pasti tidak bersemangat. Seperti zombie, bergerak tapi tidak memiliki nyawa. Ironis, banyak manusia seperti ini di sekitar kita. Jangan-jangan kita termasuk kelompok itu, apalagi kalau seseorang sudah didera dengan banyak persoalan, ditekan dengan berbagai persoalan, plus dengan melalui atau mengalami kegagalan-kegagalan hidup.

Betapa malangnya orang-orang seperti ini. Mereka hanya menunggu keadaan makin memburuk. Sejujurnya, sebagian besar manusia itu bodoh. Kebodohan manusia disebabkan karena ia tidak mengenal rencana Allah. Kita harus selalu mengingat bahwa dunia ini ada bukan karena kebetulan, yang ada dengan sendirinya. Dunia diciptakan karena ada yang merancang dengan keadaan yang sangat sempurna. Sang Pencipta menaruh makhluk ciptaan-Nya yang agung, yang dibuat mirip dengan diri-Nya. Ini fakta penting yang kita harus selalu ingat. Manusia itulah makhluk tersebut, yang lebih elok dari semua hewan, tanaman, atau apa pun.

Manusia diciptakan mirip dengan diri Allah sendiri, dan makhluk ini satu-satunya yang menerima hembusan nafas Allah. Jadi kita bisa mengerti mengapa Allah begitu mencintai manusia. Karena manusia adalah anak-anak Allah. Hanya, sayangnya, manusia tidak taat, tidak dengar-dengaran, tidak patuh. Sehingga keindahan ciptaan Allah yang sempurna ini tidak bisa dinikmati oleh manusia. Sebab tidak mungkin manusia yang memberontak bisa menikmati ciptaan Allah yang sempurna. Bumi yang begitu elok ini pun ikut terkutuk. Yang nanti suatu hari akan menjadi lautan api.

Allah Yang Maha Baik, yang penuh belas kasihan, memberi jalan keluar agar manusia yang memberontak ini bisa dipulihkan, bisa diperbaiki. Maka Allah mengutus Putra-Nya, Tuhan Yesus Kristus. Yesus menebus dosa-dosa kita, sehingga semua perbuatan dosa kita dipikul-Nya di kayu salib. Dan yang kedua, harus juga diingat, Tuhan Yesus mau mengubah kita dari manusia yang memberontak menjadi manusia yang taat. Jadi, setelah kita menjadi Kristen artinya kita harus melakukan kehendak Bapa. Melakukan kehendak Bapa ini sulit karena: pertama, Bapa tidak kelihatan, maka sulit untuk mengerti kehendak-Nya; kedua, daging kita ini lebih bertentangan dari kehendak Allah.

Yang ketiga, pengaruh dunia di sekitar kita yang semakin jahat. Kebanyakan orang memberontak kepada Allah. Dan yang keempat, ada kuasa kegelapan yang tidak kita lihat juga, yang terus menggoda, mencobai, membujuk supaya kita tidak hidup dengar-dengaran. Makanya banyak orang tidak hidup dalam ketaatan. Hidup itu singkat dan tragis. Hidup memang tidak jelas. Namun, hal ini bukan membuat kita jadi pesimis menghadapi hidup. Tuhan pasti menyertai kita melewati hari-hari, tetapi kita optimis bahwa di balik kehidupan kita di bumi ada langit baru bumi baru. 

Gairah kita sekarang harus benar, yaitu melakukan kehendak Bapa. Orang yang tidak melakukan kehendak Bapa pasti dibuang. Matius 7:21-23, “Enyahlah kamu dari hadapan-Ku, kamu yang tidak melakukan kehendak Bapa.” 

Kiranya itu yang harus menjadi gairah hidup kita, sementara kita bekerja, cari nafkah. Gairah kita yang paling kuat, yang menggerakkan hidup kita, adalah melakukan kehendak Bapa. Bapa tidak kelihatan. Maka, untuk bisa kelihatan, kita harus pertajam dengan doa. Seperti kabut, lama-lama akan nampak. Mata iman kita akan tajam. Tuhan tidak kelihatan, tapi Dia hidup. Roh Kudus pasti memimpin kita. Melakukan kehendak Tuhan itu tidak mudah, karena nafsu daging kita ini berlawanan dengan kehendak Allah. Tapi kita harus belajar menyangkal diri. Roh Kudus akan menolong kita. 

Malangnya, kita sering tidak menyadari kekalahan atau kesalahan itu, lalu menjalani hidup seakan-akan aman, padahal itu mengerikan. Setiap kali kita berbuat salah, kita berkata, “Ini kesalahanku yang terakhir, Tuhan. Aku tidak mengulangi kesalahan ini atau kesalahan yang lain. Ada satu hal yang tidak boleh kulakukan: menyakiti hati-Mu.” Hidup kita akan luar biasa. Allah yang seperti hilang di tengah-tengah masyarakat modern hari ini, kita temukan dalam hidup kita pribadi. Dan itu nanti akan terbukti dari perubahan hidup kita. Kita mau hidup tidak bercacat tidak bercela dan hidup bertanggung jawab, kerja keras, jaga pola makan, pola hidup yang baik, jujur.

Manusia itu sangat berharga, dan didesain untuk segambar dan serupa dengan Allah. Kerelaan kita meninggalkan dunia dengan segala kesenangannya, akan membuat kita menjadi juru bicara yang benar. Apa yang ada di hati Tuhan, bisa kita tangkap dan ucapkan. Dan itu menyelamatkan orang juga. Tuhan menghendaki agar gairah hidup kita diubah. Kalau manusia digerakkan oleh tujuan—di mana di dalam tujuan ada harapan—maka kita digerakkan oleh gairah untuk mencapai tujuan, yaitu hanya Tuhan dan Kerajaan-Nya.

Berlindung dalam Kesucian

Percaya kepada Tuhan, mengandalkan dan berlindung kepada-Nya, tidak bisa dipisahkan dari kehidupan penurutan terhadap kehendak-Nya. Seseorang tidak bisa percaya, mengandalkan, dan bergantung kepada Tuhan kemudian berharap pertolongan-Nya, jika tidak hidup di dalam kesucian dan kebenaran-Nya. 

Jadi, yang pertama, orang yang masih berbuat dosa, dan yang kedua, terikat dengan kesenangan dunia; dua hal ini tidak bisa dipisahkan. Kalau orang masih hidup dalam dosa, dia pasti mencintai dunia. Orang yang mencintai dunia, pasti tidak hidup di dalam kekudusan. Orang seperti ini tidak bisa percaya kepada Tuhan dengan benar, sehingga ia tidak bisa dan tidak layak berlindung kepada Tuhan; tidak pantas atau tidak layak menerima perlindungan Tuhan. 

Kita harus bisa sampai pada penghayatan untuk berkata, “Aku perlu Engkau, Tuhan,” dan kita menyadari bahwa kita tidak bisa hidup dalam kehidupan yang tidak menyenangkan hati Tuhan. Kesadaran itu harus muncul di dalam diri kita, dan akan muncul ketika kita berkata, “Tuhan, pegang tanganku. Tuhan, lindungi aku. Tuhan, aku perlu Engkau.” Maka ia juga bisa menghayati bahwa ia tidak bisa hidup dalam dosa dan percintaan dunia. Penghayatan ini bisa dimiliki oleh orang-orang yang hatinya lurus, yang bertumbuh dalam kedewasaan, yang nuraninya bersih, dan hatinya tidak bengkok. 

Tetapi kalau hati orang bengkok, tidak lurus, tidak dewasa, dan nuraninya tidak bersih, dia bisa berkata kepada Tuhan, “Lindungi aku, tolonglah aku, Tuhan,” sementara dia masih hidup dalam dosa dan percintaan dunia. Sebenarnya orang-orang seperti ini memperdaya Tuhan. Tentu mereka tidak menghormati Tuhan dan tidak menyembah Tuhan. Dulu ketika kita belum dewasa, ada dalam sikap hati dan sikap hidup seperti itu. Kita begitu manipulatif; memanfaatkan Tuhan. Kita berdoa mohon pertolongan Tuhan, sementara kita masih memuaskan keinginan kita sendiri. Kita tidak sungguh-sungguh hidup di dalam kesucian, tidak sungguh-sungguh hidup dalam percintaan dan kecintaan kepada Tuhan, tetapi percintaan dengan dunia. Mungkin dulu kita seperti itu. 

Bersyukur kita sadar bahwa itu kesalahan, sikap yang naif dan kekanak-kanakan, dan tentu itu tidak membuat hati Tuhan disenangkan. Maka, kita harus terus bertumbuh dewasa. Kita harus bisa menanggalkan percintaan dunia, melepaskan hobi-hobi, tidak terikat hiburan dunia. Kita mulai menjaga pikiran, perkataan, dan perbuatan kita untuk hidup dalam kekudusan. Sementara itu, Tuhan memperhadapkan kita dengan masalah-masalah yang kadang lebih berat dari masalah-masalah yang pernah kita hadapi, supaya kita bergantung dan berlindung kepada Tuhan; masalah-masalah yang tidak bisa kita selesaikan, kecuali dengan pertolongan Tuhan. Dan kita layak menerima pertolongan Tuhan kalau kita hidup di dalam kesucian. 

Dari pengalaman itu, maka lahirlah kesaksian hidup dan kebenaran bahwa menyelesaikan masalah-masalah berat hanya bisa dilakukan dengan satu cara: kesucian hidup. Mungkin kita bertanya, “Apa hubungan masalah ekonomi, masalah rumah tangga, masalah hukum, masalah polisi, dengan kesucian?” Sepertinya tidak “nyambung”, tapi sebenarnya ini sangat berkaitan. Hadapi dan lawan masalah kita dengan kekudusan! Buktikan bagaimana tangan Tuhan yang kuat akan melindungi dan menjagai kita. 

Dan ketika kita masuk pada pengalaman ini, hidup kita akan melimpah dengan kecintaan kepada Tuhan. Ketika hati kita melimpah dalam kecintaan dengan Tuhan, maka kita rela berbuat apa pun untuk Tuhan. Ketika kita rela berbuat apa pun untuk Tuhan, pasti Tuhan akan memercayakan proyek-proyek pekerjaan-Nya. Tuhan mau pekerjaan-Nya dilakukan orang-orang yang betul-betul haus dan rindu menyenangkan hati-Nya; orang-orang yang sudah rela melepaskan segala sesuatu yang ada padanya untuk Tuhan.

Dalam kehidupan orang percaya yang benar, maka ia akan bisa menghayati bahwa tanpa kesucian ia tidak layak minta perlindungan Tuhan. Orang-orang seperti ini akan terus bertumbuh dalam kecintaan kepada Tuhan, dan Tuhan akan memercayai orang-orang ini dengan pekerjaan-pekerjaan Allah yang besar. Di sinilah Tuhan bisa dihibur, disukakan oleh anak-anak Allah yang berperilaku seperti ini. Ayo, kita bertumbuh terus. Orang-orang yang sungguh-sungguh sampai pada level ini, tidak bisa hidup tanpa doa. Ia akan terus berkerinduan untuk mencari Tuhan dan duduk diam di kaki Tuhan. Penyembahannya semakin tulus, begitu juga dengan kebergantungannya kepada Tuhan, menjadi semakin tulus dan kuat. 

Inilah kehidupan anak-anak Allah yang berbau harum di hadapan Tuhan. Semua harus lewat proses; tahap demi tahap. Ini tidak bisa dicapai dalam satu bulan atau satu tahun, tetapi melalui perjalanan panjang, yang akhirnya benar-benar dihayati orang percaya bahwa ia tidak bisa berlindung kepada Tuhan tanpa kekudusan, dan orang-orang ini akan merindukan pulang ke surga dan benar-benar bisa merasakan bahwa dunia ini bukan rumahnya. Kiranya kita sampai pada level ini, bahwa kita tidak bisa berlindung kepada Tuhan tanpa kekudusan.