Lulusan Sekolah Teologi




Truth Daily Enlightenment show

Summary: Seorang pelayan jemaat, dari pendeta sampai aktivis, harus memiliki kualifikasi seorang yang dapat mewakili Tuhan Yesus. Mewakili Tuhan Yesus artinya dapat menunjukkan bagaimana kehidupan Tuhan Yesus pada waktu di bumi dua ribu tahun yang lalu. Ini adalah satu-satunya kunci keberhasilan pelayanan. Harus diingat bahwa pelayanan adalah usaha untuk mengubah pola berpikir jemaat sehingga memiliki pola berpikir yang tidak sama dengan dunia atau tidak menjadi serupa dengan dunia ini (Rm. 12:2). Pola berpikir yang diubah akan menghasilkan gaya hidup yang diubah pula. Sesuai dengan “predikat Kristen” yang disandang, setiap orang yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus harus menjadi seperti Yesus. Dengan demikian menemukan kembali kemuliaan Allah yang hilang atau dikembalikan ke rancangan Allah semula.<br> Dalam hal tersebut, salah satu yang paling merusak pelayanan pekerjaan Tuhan adalah konsep pemikiran atau pandangan bahwa seseorang yang sudah lulus dari Sekolah Teologi sudah diakui atau dianggap sebagai memenuhi kualifikasi sebagai pelayan jemaat. Mereka hadir di tengah-tengah jemaat dengan “buku-buku” yang sudah tertulis dalam pikiran mereka. Dengan hal itu mereka merasa sudah layak menjadi pelayan jemaat. Jika demikian, seharusnya mereka tidak boleh turun ke tengah-tengah jemaat, mereka hanya pantas ada di lingkungan Sekolah Teologi untuk membuat kajian-kajian teologi atau beradu argumentasi di ruang kuliah. Biasanya mereka juga bangga dengan gelar kesarjanaan teologi yang mereka sandang. Karena hal ini, dewasa ini banyak pendeta atau pelayan jemaat yang ramai-ramai mencari gelar tersebut. Hal ini memicu munculnya Sekolah Teologi “abal-abal” (berkualitas akademis sangat rendah), sehingga diluluskan sarjana teologi “asal-asalan” pula. Inilah yang disebut sebagai penipuan akademis. Sarjana-sarjana abal-abal ini mengajar jemaat. Betapa rusaknya bangunan berpikir jemaat.<br> Tidak sedikit rohaniwan (pendeta) yang melayani jemaat hanya berbekal ilmu teologi, tanpa spirit yang baik (gairah rohani). Selain karakternya belum terbentuk memadai semakin seperti Kristus, juga jiwanya yang masih dapat dibahagiakan oleh fasilitas dunia dengan segala hiburannya. Mereka bukanlah orang-orang yang “sudah mati” terhadap dunia, artinya belum meninggalkan segala sesuatu bagi Kerajaan Surga (Luk. 14:33). Tanpa meninggalkan segala sesuatu seseorang tidak layak menjadi murid Tuhan. Mereka hanya menjadi murid Sekolah Teologi tetapi tidak pernah menjadi murid Tuhan Yesus. Tidak sedikit dosen-dosen Sekolah Teologi juga berkeadaan demikian.  Kalau dosennya saja masih duniawi, bagaimana mahasiswanya bisa rohani? Sulit tidak menjadi duniawi pula.<br> Fakta menunjukkan, mereka yang ada di lingkungan Sekolah Teologi kadang seperti katak di bawah tempurung yang hanya melihat dunia dari perspektif akademis, padahal dunia sudah berubah dengan berbagai wajah dengan kecepatan yang sangat tinggi. Dengan berbekal bidang ilmu teologi yang mereka miliki, mereka menganalisa kehidupan yang selalu berubah, apalagi sekarang ini dengan kecepatan tinggi. Padahal tanpa hidup di tengah-tengah jemaat, mereka tidak akan tahu perubahan itu. Mereka tidak mampu membekali mahasiswanya yang akan turun ke lapangan dengan bekal yang memadai. Tidak sedikit dosen-dosen yang mengaktualisasi diri di tengah-tengah mahasiswa (sebab tidak berkesempatan eksis di luar Sekolah Teologi), sehingga membuat ajaran-ajaran yang sensasional (hanya supaya kelihatan pinter), di mana hal ini merusak konstruksi bangunan berpikir mahasiswa.<br> Tanpa disadari dosen-dosen tersebut menulari “arogansi akademis”. Tidak terbayangkan rusaknya jemaat yang dilayani mahasiswa yang ditulari “spirit” arogansi akademis. Ketika para mahasiswa tersebut turun ke lapangan, mereka juga berusaha untuk mengaktualisasikan diri dengan mengemukakan ilmu yang mereka peroleh di Sekolah Teologi. Mereka merasa diri sudah hebat, padahal mereka seperti tong yang berbunyi nyaring. Sungguh,