Mendewasakan Hati Nurani




Truth Daily Enlightenment show

Summary: Ada orang-orang yang berhenti ketika lampu pengatur jalan menunjukkan warna merah bukan karena lampu petunjuk merah, tetapi karena jalan ramai dan ada polisi yang mengawasi. Tetapi kalau jalan sepi dan tidak ada polisi yang mengawasi, maka ia melanggar lampu lalu lintas tersebut. Hati nurani orang seperti ini adalah hati nurani yang lemah atau tidak dewasa. Hati nuraninya tidak bisa berfungsi sebagai pengawas dalam dirinya. Hal ini sama dengan seorang kasir yang tidak mencuri hanya karena diawasi oleh CCTV atau kamera pengawas yang memonitor pekerjaannya. Kalau tidak ada kamera monitor, maka ia akan mencuri uang yang dipercayakan kepadanya. Orang-orang seperti ini tidak menghargai hati nuraninya sampai hati nuraninya tidak mampu bersuara lagi. Kasus ini adalah contoh yang sangat sederhana dalam kehidupan orang pada umumnya.<br> Dari apa yang dikemukakan Paulus dalam Roma 13:5, Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh karena kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati kita, jelas sekali bahwa Tuhan menghendaki agar kita mendengar suara hati nurani dan menghargainya. Dengan demikian hati nurani menjadi pengawas kehidupan lebih dari kamera monitor atau polisi yang mengawasi. Sejatinya, seseorang tidak perlu dikontrol atau diawasi oleh pihak manapun, tetapi dikontrol oleh dirinya sendiri, yaitu hati nuraninya. Hal ini sama dengan anak-anak yang belum dewasa perlu diawasi oleh orang tua, tetapi ketika anak sudah dewasa, maka ia tidak perlu diawasi oleh orang tua, sebab ia bisa mengawasi dirinya sendiri.<br> Ketika Paulus mengatakan bahwa jemaat harus mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar, hal itu bukan hanya pada waktu Paulus ada di tengah-tengah mereka. Tetapi juga ketika ia tidak hadir, artinya agar dalam diri orang percaya ada hati nurani yang sudah mampu mencegah bila hendak melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak Allah, bukan karena ada pemimpin tetapi dari kesadaran pribadi (Flp. 2:12-13). Kadang-kadang pada waktu ujian mahasiswa dibiarkan tidak diawasi untuk mengajar mereka memiliki kejujuran yang dibangun dari kesadaran sendiri. Hati nurani harus bisa menjadi suara Tuhan yang menunjukkan kesalahan. Ketika seseorang melakukan sesuatu yang tidak berstandar kesucian Allah, maka hati nurani bersuara dengan nyaring. Untuk itu hati nurani harus didewasakan sehingga mampu memiliki standar kebenaran atau kesucian Tuhan. Hati nurani yang didewasakan akan memiliki prinsip-prinsip yang  tinggi yang sesuai dengan kesucian Allah.<br> Hati nurani seharusnya didewasakan dan menjadi pengawas dan pengontrol yang kita hargai, sehingga akan menuntun kita kepada apa yang baik, yang berkenan dan yang sempurna. Orang yang hati nuraninya dewasa dan dihargai, maka ketika ia berbicara atau bersuara, ia bukan hanya menghindarkan diri dari melakukan kesalahan tetapi juga bisa mencapai kesucian yang berstandar Allah sendiri. Masalahnya sekarang adalah bagaimana hati nurani dapat berfungsi sebagai polisi pengawas, kamera monitor dan pengontrol kehidupan seseorang yang baik dan tajam? Jawabnya adalah hati nurani harus didewasakan dan dihargai atau dibiasakan didengar suaranya (what you see is what you get). Kalau seseorang biasa mengabaikan suara hatinya, maka suara hati (hati nurani) menjadi lumpuh, tidak berfungsi sebagai “polisi” dalam kehidupannya. Betapa rusaknya orang seperti ini.<br> Didewasakan maksudnya adalah hati nurani harus bisa membedakan mana yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Pendewasaan ini bisa dilakukan melalui pengajaran kebenaran Firman Tuhan yang memenuhi jiwa seseorang atau pembaharuan pikiran (Rm. 12:2). Juga dibutuhkan keteladanan hidup yang membangun suatu ukuran kebenaran atau pengaruh dari lingkungan yang baik. Seperti misalnya di Singapore atau negara barat; mereka begitu tertib mematuhi peraturan lalu-lintas atau pada waktu harus mengantri. Hal ini akan membawa dampak positif bagi masyarakat dan generasi penerus mereka.